Karya : Rahma Wita
Maret dua ribu lima belas. Ya, dua ribu lima belas.
Lima kata sederhana itu terus bergema dalam kepala ketika ia, laki-laki yang telah melewati warna-warni masa pubertasnya dengan gemilang, tak sengaja melirik kalender berwarna norak—oranye di bagian atas dan biru dongker di bagian bawah, ditambah bonus merah muda keungu-unguan sebagai pembatas pada masing-masing tepi—yang sengaja digantung dekat pintu masuk (kemungkinan besar agar setiap manusia yang keluar-masuk ruangan itu mengingat tanggal). Warna demikian pastilah membuat setiap pasang mata yang tadinya fokus pada jalan masuk atau keluar menjadi teralihkan dan terpaksa melirik barang sebentar.
Benda mati bernama kalender yang membuat laki-laki itu merenungi hidupnya sepanjang jalan kembali menuju kelasnya ialah kalender bermodel satu-tanggal-satu-halaman. Jika hari sudah berlalu maka siapa saja boleh menariknya dan membuangnya ke keranjang sampah atau menjadikannya buraman catatan belanja, atau apalah, yang jelas bagi laki-laki yang beberapa waktu lalu baru saja resmi menjadi anggota kelompok aktivitis pecinta lingkungan ini, kalender dengan jenis itu tidak ramah lingkungan—sangat tidak ramah. Entah siapa penemunya. Ia sempat menyampaikan pendapatnya pada salah seorang pekerja di ruangan itu—pria berumur tigapuluhan dengan kumis dan janggut tipis—yang hanya ditanggapi dengan ledekan semacam, “Tidakkah kau berpikir lembaran yang dibuang setiap hari itu mirip seperti dirimu, Anak Muda?” lengkap dengan suara tawa bernada seolah menyuruhnya cepat-cepat pergi dari sana. Ia tentu akan protes jika saja ucapan pria yang menurut kabar beredar akan segera menikah akhir tahun ini tidak berdasar (karena faktanya ucapan tersebut punya dasar paling valid; kartu matinya). Ilustrasinya begini, mari kita anggap setiap lembaran kalender itu ialah laki-laki ini dan setiap orang yang menariknya lalu membuangnya ialah lawan jenis yang selalu memenuhi kepalanya sejak tahun pertama ia menyandang status sebagai mahasiswa (dan ini sudah memasuki tahun ketiga, suer). Lawan jenis itu—bisa dibilang—melihatnya setiap hari, menyadari perasaannya yang meluap-luap, namun tak sedikit pun memberi tanggapan, bahkan cenderung mengabaikan. Tidakkah itu sama seperti kalender berwarna norak itu—dilihat lalu diabaikan (begitu setiap harinya), bahkan dibuang ke keranjang sampah dan berbaur dengan benda mati tak berguna lainnya?
Persetan dengan respon miris sekali dari orang-orang yang mengetahui perasaannya dengan perempuan itu, yang ternyata berdasarkan fakta sudah memiliki kekasih. Sebab ia berpegang teguh pada konsep selama janur kuning belum melengkung, masih halal untuk menikung. Lebih-lebih belakangan ia banyak melihat kasus perceraian selebritis di acara infotainment yang sering ditonton oleh ibu kosnya (ia tidak memiliki televisi di kamar kos-kosannya, jadi ia sering menumpang menonton televisi di rumah ibu kos dengan syarat harus mencuci piring setelah selesai menonton karena gratishanya cerita mitos di perkotaan lebih-lebih metropolitan). Jika fakta harus dibalas dengan fakta, maka ia bisa mengatakan dengan bangga bahwa ada banyak sekali kasus perceraian. Itu artinya, yang sudah berjanji di depan penghulu lengkap dengan emas kawin saja bisa berpisah, apalagi yang hanya menjalin hubungan dengan dasar pernyataan maukah kau menjadi kekasihku? Itu lebih terdengar seperti omong kosong daripada pernyataan cinta. Sampah berbumbu romansa.
“Maret dua ribu lima belas,” ia bergumam pelan, nyaris serupa bisikan untuk diri sendiri.
Berbicara mengenai bulan Maret, ia memang sering merana sendiri. Pasalnya bulan ketiga dalam Kalender Gregorian ini ialah bulan lahirnya, yang menandakan usianya bertambah setiap tahunnya, dan bagian paling spesial dari Maret tahun ini ialah tepat dua puluh tahun ia hidup di planet Bumi sekaligus merayakan ketidakpernahannya menjalin hubungan selama hidupnya. Waah.
Jika di universitas swasta terdapat mata kuliah Pengantar Patah Hati, demi Tuhan ia akan meninggalkan universitas negeri yang berhasil ia masuki dengan jalur tulis. Bukannya sombong atau apa, tetapi ia berhasil lulus di urutan ke lima fakultas berakreditas A, universitas negeri pula. Tetapi tetap saja, masokis, ya, bagaimana pun masokis juga. Nasib berada di jalur yang berbeda dengan kemampuan akademis, omong-omong.
***
Hari itu adalah hari kebesarannya, Jumat barokah. Hari di mana ia merasa tingkat ketampanannya bertambah ba’da Jumat. Jadi, itulah alasan ia meninggalkan kelas terakhir hari ini dengan semangat Raja Api yang ingin menangkap Avatar Aang. Meskipun harus menahan lapar, ia tak akan gentar. Roar!
“Andi!”
Oh, sial, ada makhluk astral yang menghalangi perjalanannya menuju parkiran untuk mengambil kendaraan pribadinya yang ramah lingkungan. Omong-omong, Andi adalah namanya, nama panggilannya. Keren? Memang.
Andi memutar haluan, seolah seorang raja yang tengah memandang seorang kampungan— ah, tunggu, yang memanggilnya bukan seorang kampungan, apalagi makhluk astral. Apakah ini mimpi? Ia bahkan belum tidur siang. Nawaitu saja belum.
“Kamu Raisa?”
Jika ia tengah berhadapan dengan Ratu Elisabeth, pastilah pedang-pedang mengkilap yang siap menggorok lehernya telah teracung. Demi deh, menunjuk wajah seseorang dengan jari telunjuk (tangan kiri pula), lebih-lebih makhluk mulia berjenis perempuan, adalah perilaku nonverbal paling tidak sopan. Tetapi, maklumi sajalah, ia tak pernah berhadapan dengan perempuan selain ibunya dan ibu kos, pastilah alam bawah sadarnya saat ini tengah mengalami turbulensi akibat gadis yang ia pikir selama ini mengabaikannya tahu-tahu memulai interaksi dengannya lebih dulu. Puja kerang ajaib.
“Kamu sakit jiwa?”
Iya, kejiwaanku sudah lama terganggu karena kamu.
“Maksudku, ada keperluan apa, Risa?”
Maaf saja jika nada bicaranya agak menjijikkan walaupun tujuan sebenarnya adalah menjaga kesopanan. Sebab ini adalah kali pertama ia berbicara dengan perempuan pujaannya (yang sudah memiliki kekasih). Jumat barokah.
“Apa kamu punya waktu selesai shalat Jumat?”
“Ada keperluan?”
“Soal materi tadi, sedikit membingungkan. Aku lihat kamu bisa menerima materinya. Jadi … ya ….”
Jadi, kamu minta aku menjelaskan materi tadi ke kamu, nih? Eh, tunggu. Jadi kamu memerhatikan aku selama materi kuliah tadi? Cie, cie.
“Oh, tentu saja bisa. Selesai aku shalat Jumat, kita ketemu di perpustakaan, oke?”
“Oke.”
Sampai di situ saja percakapan mereka, namun telah berhasil membuat Andi mengayuh kendaraan pribadinya dengan kecepatan hitung mesin kasir, lebih-lebih ia mendapat bonus lambaian tangan dan ucapan sampai jumpa dari perempuan pujaannya.
Namun, bukan di situ bagian terpentingnya. Setelah selesai dengan kewajibannya sebagai seorang laki-laki muslim, dan memenuhi janjinya kepada Risa, ia berencana kembali ke kamar kos-kosannya untuk tidur siang dalam rangka menjaga ketampanan. Namun, yang terjadi ialah ibu kos menemukannya jatuh pingsan di depan pagar kos-kosan. Belakangan diketahui penyebabnya adalah ia melupakan kebutuhan pokoknya sebagai makhluk hidup—makan. Ribuan kupu-kupu yang berputar-putar di perutnya mampu menyamarkan lapar yang ada. Ia tak ingat bagaimana kronologisnya, namun ia merasa sempat mengeluarkan kunci gembok untuk membuka pagar kos sebelum pandangannya menggelap.
Sekiranya perkara pingsan itu memaksa Andi berpikir, bahwa sesungguhnya patah hati masih bisa ditolerir, ketimbang lapar yang tersamarkan oleh kebahagiaan. Jatuh cinta memang selalu punya sisi gila. Coba saja jika tak percaya.
***
Saat masih berstatus bocah SD ingusan yang hobi jajan es lilin di warung Kak Surti, Andi pernah berpikir bahwa sakit gigi lebih baik daripada sakit hati. Alasannya sederhana—sesederhana tutorial hijab di yousube, ia—yang belum mengenal cinta—merasakan sesak di dada ketika gadis kecil yang ia klaim sebagai cinta—monyet—pertamanya, menerima setangkai permen lollipop rasa mangga dari bocah laki-laki yang sialnya satu tingkat di atasnya. Mana berani ia sok jagoan dengan kakak kelas. Ia hanya bisa menonton miris dari balik semak-semak bunga jarum-jaruman, dan mulai menamai nyeri di dada dengan sakit hati dan rasa kecewa.
Entah ia terkena azab atau apa karena membandingkan sakit hati dengan sakit gigi—yang pada saat itu jelas-jelas belum pernah ia alami, ia diberikan derita paling membuatnya menderita, sakit yang melebihi sakit hati; sakit gigi. Ia yang notabene masih bocah ingusan sudah dipaksa berpikir dewasa, memahami makna bahwa di atas sakit hati masih ada sakit yang lebih menyayat hati. Namun, seperti kata orang tua, pengalaman bukan hukuman, melainkan teman untuk menghadapi masa depan.
Ia pernah membiarkan hatinya retak berkali-kali ketika Risa, perempuan yang ia khawatirkan telah membuatnya jatuh cinta sebab melihat senyumnya saja ia sudah bahagia, tengah bersama kekasihnya. Namun, tetap saja, patah hati tak membuatnya mati, malah ia pernah nyaris mati karena merasakan kenyang hasil manipulasi. Tak pernah ada yang benar-benar buruk, ‘kan?
Ya, setidaknya ia pernah mempunyai pemikiran semacam itu, sebelum ia menemukan pujaan hatinya menyembunyikan wajahnya di balik buku paling tebal yang pernah ia lihat, menangis tanpa suara pada sudut paling sepi perpustakaan.
“Risa?” ia memanggil pelan, mencoba memastikan.
Namun, tak ada respon yang ia terima.
“Ris?” cobanya sekali lagi.
Namun, tetap tak ada respon, yang membuatnya terpaksa menyingkirkan buku tebal yang menutupi wajah Risa.
Ia menangis. Benar-benar menangis.
“Kamu kenapa?”
Pertanyaan bodoh. Ya, memang. Berhadapan dengan perempuan saja jarang, apalagi menghadapi perempuan yang sedang menangis, ia bisa apa?
“Dia menemukan perempuan yang lebih baik dariku, dan perempuan itu … temanku,” ujar Risa di sela-sela sesenggukannya.
Andi tak mengerti mengapa perempuan ini memaksakan diri tersenyum padanya, padahal jelas-jelas hatinya terluka. Dan ia juga tak mengerti mengapa melihat Risa terluka oleh laki-laki yang ia pikir dapat membahagiakannya jauh lebih membuatnya patah hati. Adakah yang lebih mempunyai teka-teki ketimbang yang ia rasakan saat ini?
“Itu bukan masalah besar. Setidaknya aku tahu dia bukan yang terbaik. Omong-omong, besok hari ulang tahun kamu, ‘kan, Andi?”
“…”
“…”
“Maaf?”
***