foto: www.google.com |
Karya: Grace Septiana
Sudah terlalu lama terkunci dan akhirnya karatan, tetap bisa dibuka namun sudah susah dan tidak tahu kapan akan terbuka. Mungkin itu bisa menggambarkan perasaanku sekarang. Setelah bertahun-tahun tidak pernah merasakan cinta. Semua terasa sama, hampa.
***
Sepulang kuliah aku diajak temanku untuk menjemput sepupunya yang datang ke tempatku untuk jalan-jalan. Ku iyakan saja ajakannya. Aku menunggu diluar kosnya. “Yuk, Bram” ajak temanku itu.
“Nom, dari mana asal sepupumu?”, tanyaku pada Naomi yang merupakan teman akrabku sejak pertama masuk kuliah. “Ohh, itu Bram. Sepupuku dari Jakarta. Kami tidak terlalu akrab, karena aku di Yogyakarta sementara dia di Jakarta. Nanti akan aku kenalin ke kamu ya”, jawab Naomi.
Sesampainya di stasiun Yogyakarta, seorang wanita berambut pendek, tidak terlalu tinggi, berkulit putih, dengan sweater biru yang senada dengan tas ranselnya serta koper yang diseret muncul dari ujung lorong stasiun. Dia melambaikan tangannya ke arah kami. Dengan sekejap Naomi berlari dan langsung memeluknya dengan erat. Dari kejauhan aku merasakan wajahnya tak asing bagiku. Ternyata dugaanku benar, dia memang seseorang yang aku kenal.
“Irene, apa kabar?”, tanya Naomi sembari melepaskan pelukannya.
“Baik, Naomi”, jawab Irene dengan tertawa kecil.
“Irene, kenalin ini teman dekatku di kampus, Abram namanya”, kata Naomi lalu menyenggol bahuku.
“Hai, Irene, lama tak berjumpa”, kataku dan menjulurkan tanganku. Tanganku disambutnya
“Hi Bram, apa kabar?”, tanyanya dengan senyumnya.
“Baik,” jawabku dengan cepat. Dari percakapan kami, mungkin Naomi sudah bisa menebak kalau kami memang sudah saling kenal.
“What? Kalian saling kenal?” tanya Naomi untuk memastikan.
“Iya nom, kami satu SMA di Jakarta”, jawab Irene. “Oh, begitu”, jawab Naomi kembali dan akupun membantu Irene membawa koper Irene.
Kami pun masuk ke mobil. Karena hari sudah sore, jalanan pun macet. Maklum, semua orang pada pulang kerja. Naomi dan Irene menggobrol di dalam mobil, sementara aku diam saja sambil menyetir. Terkadang mereka membahas tentang masa SMA kami. Aku memang tidak pernah menceritakan sosok Irene ke siapapun termasuk ke Naomi. Akupun terkejut bahwa ternyata Naomi dan Irene adalah sepupu. Sejam kemudian, akhirnya kami sampai di Kos Naomi. Ku bantu menurunkan koper dan lalu berpamitan.
Malam harinya, sekitar pukul 10.00 WIB, ku ambil handphone ku dan menelepon seseorang.
“Hallo, ada apa Bram?” jawab seseorang.
“Yuk, nongkrong. Jangan lupa ajak Irene ya,” ucapku .
“Ayuk, aku juga gabut di kos ini”, jawab Naomi.
Kusudahi meneleponnya dan kuajak teman-temanku yang lain yang memang juga teman-teman kuliahku . Ku ambil motorku dan melaju ke Kos Naomi yang merupakan titik berkumpul kami semua.
Setelah beberapa menit, keluarlah dua wanita yang sudah mengenakan jaket.
“Irene, kamu sama Yudha atau sama Abram?”, tanya Naomi. Disitu memang aku sendiri, dan tidak ada boncengan, temanku Yudha juga sendiri tidak memiliki boncengan. Tanpa menjawab, Irene langsung naik ke motorku. Tidak ada percakapan diantara kami. Karena tidak ada yang memulai.
Sesampainya di tempat nongkrong itu, aku memesan makanan. Sekilas ku lihat Irene juga memesan makanan yang sama denganku. Kalau tidak ada meja yang menghalangi kami, pasti aku duduk bersebelahan dengannya. Aku lirik Irene, tampak dia bersenda gurau dengan Naomi. Dan dia mulai menggobrol hal-hal yang santai dengan Yudha sembari menunggu pesanan datang. Aku hanya sibuk dengan telepon genggamku tepatnya menyibukkan diri.
Setelah pesanan datang kami pun menghabiskan makanan. Waktu pun mulai larut malam. “Aku gak pernah keluar sampai selarut ini di Jakarta”, kata Irene tiba-tiba. Lalu Yudha dan Naomi mulai meledeknya dan memulai pembahasan-pembahasan kecil tentang itu. Aku pun ikut nimbrung dengan percakapan mereka. Sesekali aku lihat dia tertawa lepas. Seakan-akan dia lupa kisah antara kami. Candaan-candaan kecil yang dibuatnya menghangatkan suasana di malam hari. Setelah kami menyudahkan kegiatan hari itu, kuantar dia pulang bersama dengan Naomi yang dibonceng oleh Yudha.
Sebenarnya tidak tahu kenapa, tapi terjadi begitu saja. Mungkin takdir memang merestui kami untuk bertemu. Bagaimana tidak, Irene merupakan seseorang yang pernah ada dihatiku disaat kami SMA dulu. Kami menjalin hubungan sejak kelas 1 SMA, namun berakhir saat aku harus ke Yogyakarta untuk kuliah. Terkadang aku merindukannya, namun semakin aku merindukannya, semakin sakit rasanya.
Keesokan harinya, aku hanya tidur di kamar kos ku. Kuliahku masih libur, jadi aku menjalani aktivitas jika aku libur. Sebenarnya aku ingin bertemu Irene. Namun aku terlalu gengsi untuk bertemu dengannya. aku cara agar kami bisa bertemu. Dan akupun menemukan cara itu.
Malamnya itu aku mengajak teman-temanku untuk ke Bukit Bintang. Setelah Naomi menyetujui ajakan ku, kami pun pergi kesana dan menjemput mereka. Aku dan teman-temanku memang ramai, sekitar ada 5 motor. Semua ada boncengan, tinggal aku dan Yudha yang tidak memiliki boncengan lagi. Setelah sampai, Naomi pun langsung naik ke motor Yudha. Dan Irene pun naik ke motorku.
Perjalanan yang jauh berhasil membuat aku dan Irene memiliki waktu menggobrol yang lama di jalan. Kumulai dengan pertanyaan-pertanyaan kecil. Yah, bertanya tentang kabarnya dan kegiatannya sehari-hari di Jakarta.
Akhirnya kami sampai di Bukit Bintang. Bukit Bintang ini merupakan tempat nongkrong terpopuler di kalangan remaja di Yogyakarta. Lalu kami semua mencari tempat untuk duduk. Kami menikmati indahnya pemandangan dari atas sini. Dimana banyak gemintang lampu warga sekitar yang ada di bawahnya di tengah langit malam dari ketinggian bukit. Setelah kami menemukan tempat duduk, kulihat Irene bersebelahan dengan Naomi. Namun Irene bersebrangan juga dengan ku. Lagi-lagi meja menjadi penghalang kami. Lampu yang agak redup membuatku tidak terlalu jelas melihat wajahnya. Aku tidak tahu ekspresi apa yang dibuatnya. Dentingan gitar, disambut dengan suara kami yang bisa dibilang pas-pasan ditambah pemandangan Kota Yogyakarta dari Bukit Bintang tersebut menambah keindahan malam itu. Disela-sela dentingan gitar, ku dengar suara yang halus dari seberangku. Yah itu suara Irene, suara yang selalu aku rindukan.
Malam semakin larut, bulan semakin tinggi, bintang-bintang mulai bermunculan serta hawa yang semakin dingin. Sesekali aku memperhatikannya. Terlihat dia memeluk tubuhnya sendiri seakan menjelaskan bahwa dirinya sedang kedinginan. Yah, memang malam itu sangat dingin, 16ºC terpampang di smartphoneku. Ingin sekali aku pergi ke sebelahnya, menggosok kedua telapak tanganku dan meletakkan ke pipinya. Setidaknya memberi kehangatan. Dan ingin sekali aku memeluknya dan membisikkan kata rindu ke telinganya. “Itu tidak mungkin terjadi, kalian sudah berakhir”, maki ku dalam hati.
Waktu pun menunjukkan pukul 5 pagi, akhirnya kami memutuskan pulang. Kami pun berboncengan. Sesampai di kos Naomi, dia pun turun dan hanya mengucapkan terima kasih ke semuanya. Aku pun mengerti dia sudah menggantuk.
***
Handphoneku berdering, Naomi menelpon ku. Kujawab teleponnya, aku terkejut. Bagaimana tidak terkejut, Naomi menyuruhku mengajak jalan-jalan Irene keliling Yogyakarta. Aku tau bahwa Naomi memang sangat sibuk-sibuknya dikarenakan ada ospek mahasiswa baru di kampus. Tanpa pikir panjang ku iyakan saja tawaran Naomi.
Pagi keesokannya, aku siap-siap. Tidak tahu kenapa aku malas saja membawa mobil. Ku keluarkan motor ku dan menjemput Irene di Kos Naomi. Tak beberapa lama, Irene dan Naomi keluar. Kuliat Irene mengenakan riasan di pipinya dan menggunakan pakaian yang serba hitam. Dia terlihat anggun pikirku.
Setelah berpamitan dengan Naomi, Irene naik ke atas motorku. Ku kendarai motor ku, sengaja aku membawanya pelan. Karena aku berboncengan dengan Irene. Biasanya aku mengendarai dengan bisa dibilang kencang. Tidak tahu, beda saja rasanya.
“Kita mau kemana?”, tanyaku untuk memecah keheningan diantara kami. Jujur aku tidak tahu kemana kami akan pergi. “Kita keliling KotaYogyakarta saja, bagaimana?”, tanya Irene. “Oh, boleh”, jawabku.
Berbincang-bincang santai selama di perjalanan membuatku tidak canggung lagi. Seperti biasa dia memang suka bercerita hingga hal kecil. Aku bingung, apakah dia bersikap tidak ada yang terjadi antara kami atau memang dia sudah betul melupakannya. “Ahh, entahlah”, gumanku.
Kami berkeliling dan menikmati indahnya Kota Yogyakarta. Ku ajak dia ke tempat-tempat ramai dikunjungi orang. Setelah lelah berkeliling, kami mengunjungi sebuah kafe. Aku duduk berhadapan dengannya. Pelayan kafe memberikan menu dan kami memesannya. Seperti biasa, aku tahu Irene akan memesan nasi goreng. Itu memang makanan favoritnya. Selama menunggu pesanan, kami sama-sama membisu. Ku beranikan diri bertanya tentang kisah asmaranya. Aku bercanda tentang siapa yang dekat dengan dia sekarang. Setauku dia memang sampai sekarang tidak memiliki pacar atau semacam teman spesial.
“Yah, seperti itulah. Aku tidak dengan siapa-siapa. Berlalu begitu saja”, jawab Irene. Lama kelamaan tidak tahu kenapa, kami mulai terbawa dalam cerita masa lalu kami.
Sebenarnya Irene merupakan seseorang yang pernah menjadi masa laluku. Keyakinan menjadi penghalang bagi kami. Dimana dia ke Gereja setiap hari Minggu, sementara aku harus sholat. Awalnya aku hanya berpikir jalanin saja dulu. Namun lama kelamaan akupun merasakan keraguan.
Sebenarnya aku yang memutuskan hubungan, karena aku berpikir untuk apa menjalin hubungan tapi tahu akhirnya berpisah. Disatu sisi aku itu pengecut, aku tidak mau berjuang. Namun caraku memutuskannya bisa dikatakan tidak baik. Bagaimana tidak, aku menghilang setelah lulus-lulusan SMA. Aku tidak pernah berjumpa dan menghubungi Irene sama sekali. Karena menurutku sama saja jika kami menjalankannya hingga bertahun-tahun dan berakhir di ujung.
Aku tidak tau alasan kenapa Irene masih mau bertemu denganku. Bahkan mau berjalan-jalan denganku. Aku rasa dia membeciku karena aku menghilang. Lalu kutanyakan alasannya ke Irene.
“Sebenarnya, aku sedih kamu pergi entah kemana. Aku coba hubungi kamu, aku coba agar aku bisa jumpain kamu. Tapi kamu selalu menghindar. Dan sampai aku tahu kalo kamu uda di Yogyakarta. Aku marah, aku sedih, aku rindu. Itulah yang kurasakan. Sampai aku berfikir, sampai kapan aku harus seperti itu?. Hari demi hari, aku mulai mencoba melupakan. Walaupun tidak sepenuhnya, tapi setidaknya aku sudah berdamai dengan hatiku agar aku merelakan kamu. Makanya disini aku merasa seperti biasa saja. Kalaupun rasa rindu ada, mungkin saat ini sudah terobati. Karena rasa rindu itu tidak bisa diatur.
“Aku juga berpikir tidak selamanya cinta itu harus saling memiliki. Jika aku sayang kamu, aku hanya mendoakan yang terbaik untuk mu Irene”, kataku ke Irene menutup percakapan kami. Setelah menjelaskan semua ke Irene aku merasa beban selama ini yang ku tanggung legah. Karena sebelum aku membuka hatiku ke orang lain, aku harus berdamai dengan masa laluku. Aku melihat Irene menganggukkan dagunya dan memberikan senyuman kepadaku. Seakan dia juga mengerti maksud dari penjelasanku.
Matahari sudah terbenam, kami pun menyudahi perbincangan kami. Aku ajak dia pulang agar nanti tidak kemalaman. Saat perjalanan pulang, ada sesuatu yang mengenai bahuku. Dengan cepat aku menoleh ke belakang, ternyata kepala Irene menyentuh bahuku. Seakan meminjam bahuku untuk istirahat sebentar. Tangan kecilnya yang masih memegang ujung kemejaku. Aku jaga bahuku agar dia tak terbangun. Dan akhirnya kami sampai di depan Kos Naomi, dengan lembut ku goyangkan bahuku. Dia pun terbangun. Dia turun kemudian berpamitan. Tak lupa juga dia berterimakasih dengan senyuman yang kecil di wajahnya. Dan akupun pulang.
***
Hari ini dimana Irene pulang ke Jakarta, aku tanya Naomi jam berapa Irene berangkat. Irene pergi sore hari. Aku pun menyodorkan diri untuk menggantar dia ke stasiun. Mereka mengiyakan tawaranku, langsung aku bergegas ke kos Naomi. Ku bantu Irene untuk membawa membawa kopernya dan memasukkan ke bagasi mobilku. Kami pun berangkat. Memang sengaja kami berangkat lebih awal, biar nanti di stasiun tidak tergesa-gesa. Ditambah Yogyakarta yang memang macet.
Sesampainya di stasiun kami memutuskan untuk makan di pinggiran jalan. Aku duduk disamping Irene. Naomi juga duduk namun agak jauh dari kami. Seakan-akan memberi izin untuk kami berdua. Irene teringat ada sesuatu yang ingin dibelinya. Dia mengajakku untuk menemani dia. Kami pun bergegas, Naomi tinggal di tempat makan itu sembari menunggu pesanan kami datang.
Saat itu memang mendung dan rintik-rintik hujan mulai terasa di permukaan kulit kami. “Ren, gerimis. Tutup kepalamu dengan tanganmu”, suruhku ke Irene. Aku tidak tahu mengapa aku bisa mengatakan itu. Aku kuatir saja nanti dia akan sakit. Mungkin dia tidak mendengar karena jarak antara kami pun bisa di bilang jauh. Dia berjalan di depanku. Dia tetap berjalan tanpa melihat ke belakang. Seakan tidak masalah dirinya terkena rintikan gerimis.
Tanpa pikir panjang, kubuka jaketku dan kupayungi dia. Terlihat jelas diwajahnya bahwa dia agak terkejut. Karena ukuran jaketku agak kecil sehingga tubuh kami pun saling berdekatan. Jangan kan tubuh, wajah kami pun berdekatan. Tak berani aku menatapnya, aku menatap terus kedepan. Dan menyamakan langkah kaki kami.
Tiba-tiba suara kecil terdengar jelas di telingaku. “Aku pergi ya”, kata Irene dengan nada yang rendah. Lalu aku menatapnya dan dia juga menatapku. Sejenak langkah kaki kami berhenti, aku beranikan diri untuk menatapnya lebih lama. Jarak muka kami dekat, disitu aku melihat jelas raut mukanya yang sedikit layu. Tidak ada senyuman seperti biasanya. “Iya”, jawabku dengan singkat. “Kamu tuh harus semangat dong ”, jawabku. Seolah-olah tegar tapi sebenarnya ingin menahannya agar lebih lama lagi tinggal disini.
Kaki kami pun melangkah lagi dan sampai di sebuah toko kelontong. Sesudah siap, kami pun kembali ke tempat makan di pinggir jalan itu. Setelah kami makan, kami pun menggantar Irene ke dalam stasiun. Karena sebentar lagi keretanya akan berangkat.
Rasanya berat sekali untuk membiarkan dia pergi. Setelah Irene berpelukan dengan Naomi, Irene menuju ke arahku. Dia hanya menjulurkan tangannya. Ku sambut tanggannya dan dia mengucapkan terimakasih karena aku sudah mengantarnya jalan-jalan.
Setelah berpamitan, dia pun masuk dan kulihat dia berjalan menuju gerbong kereta. Aku tidak beranjak pergi, aku terus melihatnya hingga dia tidak terlihat lagi. Naomi pun mengajak aku pulang. Dan akupun berbalik pulang,
Selama di perjalanan, aku hanya diam. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu. Sebagian perasaanku lega, sebagian lagi aku merasa kehilangan. Entah apa alasannya. Akupun tidak tahu. Yang jelas, aku harus membuka hatiku untuk seseorang yang baru. Aku tau bahwa cinta tak harus memiliki. Yah, kata-kata itu cukup menghiburku. Ada sesuatu yang belum ku katakan ke dia bahwa sebenarnya masih ada dirinya terkunci di hatiku.
Entah apa alasannya aku tidak tahu mengapa dia masih disitu. Disatu sisi aku harus mengikhlaskan dirinya seperti yang Irene lakukan terhadapku. Aku harus merelakan dirinya, merelakan kisah sebentar antara aku dan Irene, serta mulai berdamai dengan masa lalu diriku. Gerimis yang datang saat itu seakan menggambarkan kesedihanku.Dan sendunya Yogyakarta menjadi saksi perpisahan kami yang sebenarnya.
***
Sepulang kuliah aku diajak temanku untuk menjemput sepupunya yang datang ke tempatku untuk jalan-jalan. Ku iyakan saja ajakannya. Aku menunggu diluar kosnya. “Yuk, Bram” ajak temanku itu.
“Nom, dari mana asal sepupumu?”, tanyaku pada Naomi yang merupakan teman akrabku sejak pertama masuk kuliah. “Ohh, itu Bram. Sepupuku dari Jakarta. Kami tidak terlalu akrab, karena aku di Yogyakarta sementara dia di Jakarta. Nanti akan aku kenalin ke kamu ya”, jawab Naomi.
Sesampainya di stasiun Yogyakarta, seorang wanita berambut pendek, tidak terlalu tinggi, berkulit putih, dengan sweater biru yang senada dengan tas ranselnya serta koper yang diseret muncul dari ujung lorong stasiun. Dia melambaikan tangannya ke arah kami. Dengan sekejap Naomi berlari dan langsung memeluknya dengan erat. Dari kejauhan aku merasakan wajahnya tak asing bagiku. Ternyata dugaanku benar, dia memang seseorang yang aku kenal.
“Irene, apa kabar?”, tanya Naomi sembari melepaskan pelukannya.
“Baik, Naomi”, jawab Irene dengan tertawa kecil.
“Irene, kenalin ini teman dekatku di kampus, Abram namanya”, kata Naomi lalu menyenggol bahuku.
“Hai, Irene, lama tak berjumpa”, kataku dan menjulurkan tanganku. Tanganku disambutnya
“Hi Bram, apa kabar?”, tanyanya dengan senyumnya.
“Baik,” jawabku dengan cepat. Dari percakapan kami, mungkin Naomi sudah bisa menebak kalau kami memang sudah saling kenal.
“What? Kalian saling kenal?” tanya Naomi untuk memastikan.
“Iya nom, kami satu SMA di Jakarta”, jawab Irene. “Oh, begitu”, jawab Naomi kembali dan akupun membantu Irene membawa koper Irene.
Kami pun masuk ke mobil. Karena hari sudah sore, jalanan pun macet. Maklum, semua orang pada pulang kerja. Naomi dan Irene menggobrol di dalam mobil, sementara aku diam saja sambil menyetir. Terkadang mereka membahas tentang masa SMA kami. Aku memang tidak pernah menceritakan sosok Irene ke siapapun termasuk ke Naomi. Akupun terkejut bahwa ternyata Naomi dan Irene adalah sepupu. Sejam kemudian, akhirnya kami sampai di Kos Naomi. Ku bantu menurunkan koper dan lalu berpamitan.
Malam harinya, sekitar pukul 10.00 WIB, ku ambil handphone ku dan menelepon seseorang.
“Hallo, ada apa Bram?” jawab seseorang.
“Yuk, nongkrong. Jangan lupa ajak Irene ya,” ucapku .
“Ayuk, aku juga gabut di kos ini”, jawab Naomi.
Kusudahi meneleponnya dan kuajak teman-temanku yang lain yang memang juga teman-teman kuliahku . Ku ambil motorku dan melaju ke Kos Naomi yang merupakan titik berkumpul kami semua.
Setelah beberapa menit, keluarlah dua wanita yang sudah mengenakan jaket.
“Irene, kamu sama Yudha atau sama Abram?”, tanya Naomi. Disitu memang aku sendiri, dan tidak ada boncengan, temanku Yudha juga sendiri tidak memiliki boncengan. Tanpa menjawab, Irene langsung naik ke motorku. Tidak ada percakapan diantara kami. Karena tidak ada yang memulai.
Sesampainya di tempat nongkrong itu, aku memesan makanan. Sekilas ku lihat Irene juga memesan makanan yang sama denganku. Kalau tidak ada meja yang menghalangi kami, pasti aku duduk bersebelahan dengannya. Aku lirik Irene, tampak dia bersenda gurau dengan Naomi. Dan dia mulai menggobrol hal-hal yang santai dengan Yudha sembari menunggu pesanan datang. Aku hanya sibuk dengan telepon genggamku tepatnya menyibukkan diri.
Setelah pesanan datang kami pun menghabiskan makanan. Waktu pun mulai larut malam. “Aku gak pernah keluar sampai selarut ini di Jakarta”, kata Irene tiba-tiba. Lalu Yudha dan Naomi mulai meledeknya dan memulai pembahasan-pembahasan kecil tentang itu. Aku pun ikut nimbrung dengan percakapan mereka. Sesekali aku lihat dia tertawa lepas. Seakan-akan dia lupa kisah antara kami. Candaan-candaan kecil yang dibuatnya menghangatkan suasana di malam hari. Setelah kami menyudahkan kegiatan hari itu, kuantar dia pulang bersama dengan Naomi yang dibonceng oleh Yudha.
Sebenarnya tidak tahu kenapa, tapi terjadi begitu saja. Mungkin takdir memang merestui kami untuk bertemu. Bagaimana tidak, Irene merupakan seseorang yang pernah ada dihatiku disaat kami SMA dulu. Kami menjalin hubungan sejak kelas 1 SMA, namun berakhir saat aku harus ke Yogyakarta untuk kuliah. Terkadang aku merindukannya, namun semakin aku merindukannya, semakin sakit rasanya.
Keesokan harinya, aku hanya tidur di kamar kos ku. Kuliahku masih libur, jadi aku menjalani aktivitas jika aku libur. Sebenarnya aku ingin bertemu Irene. Namun aku terlalu gengsi untuk bertemu dengannya. aku cara agar kami bisa bertemu. Dan akupun menemukan cara itu.
Malamnya itu aku mengajak teman-temanku untuk ke Bukit Bintang. Setelah Naomi menyetujui ajakan ku, kami pun pergi kesana dan menjemput mereka. Aku dan teman-temanku memang ramai, sekitar ada 5 motor. Semua ada boncengan, tinggal aku dan Yudha yang tidak memiliki boncengan lagi. Setelah sampai, Naomi pun langsung naik ke motor Yudha. Dan Irene pun naik ke motorku.
Perjalanan yang jauh berhasil membuat aku dan Irene memiliki waktu menggobrol yang lama di jalan. Kumulai dengan pertanyaan-pertanyaan kecil. Yah, bertanya tentang kabarnya dan kegiatannya sehari-hari di Jakarta.
Akhirnya kami sampai di Bukit Bintang. Bukit Bintang ini merupakan tempat nongkrong terpopuler di kalangan remaja di Yogyakarta. Lalu kami semua mencari tempat untuk duduk. Kami menikmati indahnya pemandangan dari atas sini. Dimana banyak gemintang lampu warga sekitar yang ada di bawahnya di tengah langit malam dari ketinggian bukit. Setelah kami menemukan tempat duduk, kulihat Irene bersebelahan dengan Naomi. Namun Irene bersebrangan juga dengan ku. Lagi-lagi meja menjadi penghalang kami. Lampu yang agak redup membuatku tidak terlalu jelas melihat wajahnya. Aku tidak tahu ekspresi apa yang dibuatnya. Dentingan gitar, disambut dengan suara kami yang bisa dibilang pas-pasan ditambah pemandangan Kota Yogyakarta dari Bukit Bintang tersebut menambah keindahan malam itu. Disela-sela dentingan gitar, ku dengar suara yang halus dari seberangku. Yah itu suara Irene, suara yang selalu aku rindukan.
Malam semakin larut, bulan semakin tinggi, bintang-bintang mulai bermunculan serta hawa yang semakin dingin. Sesekali aku memperhatikannya. Terlihat dia memeluk tubuhnya sendiri seakan menjelaskan bahwa dirinya sedang kedinginan. Yah, memang malam itu sangat dingin, 16ºC terpampang di smartphoneku. Ingin sekali aku pergi ke sebelahnya, menggosok kedua telapak tanganku dan meletakkan ke pipinya. Setidaknya memberi kehangatan. Dan ingin sekali aku memeluknya dan membisikkan kata rindu ke telinganya. “Itu tidak mungkin terjadi, kalian sudah berakhir”, maki ku dalam hati.
Waktu pun menunjukkan pukul 5 pagi, akhirnya kami memutuskan pulang. Kami pun berboncengan. Sesampai di kos Naomi, dia pun turun dan hanya mengucapkan terima kasih ke semuanya. Aku pun mengerti dia sudah menggantuk.
***
Handphoneku berdering, Naomi menelpon ku. Kujawab teleponnya, aku terkejut. Bagaimana tidak terkejut, Naomi menyuruhku mengajak jalan-jalan Irene keliling Yogyakarta. Aku tau bahwa Naomi memang sangat sibuk-sibuknya dikarenakan ada ospek mahasiswa baru di kampus. Tanpa pikir panjang ku iyakan saja tawaran Naomi.
Pagi keesokannya, aku siap-siap. Tidak tahu kenapa aku malas saja membawa mobil. Ku keluarkan motor ku dan menjemput Irene di Kos Naomi. Tak beberapa lama, Irene dan Naomi keluar. Kuliat Irene mengenakan riasan di pipinya dan menggunakan pakaian yang serba hitam. Dia terlihat anggun pikirku.
Setelah berpamitan dengan Naomi, Irene naik ke atas motorku. Ku kendarai motor ku, sengaja aku membawanya pelan. Karena aku berboncengan dengan Irene. Biasanya aku mengendarai dengan bisa dibilang kencang. Tidak tahu, beda saja rasanya.
“Kita mau kemana?”, tanyaku untuk memecah keheningan diantara kami. Jujur aku tidak tahu kemana kami akan pergi. “Kita keliling KotaYogyakarta saja, bagaimana?”, tanya Irene. “Oh, boleh”, jawabku.
Berbincang-bincang santai selama di perjalanan membuatku tidak canggung lagi. Seperti biasa dia memang suka bercerita hingga hal kecil. Aku bingung, apakah dia bersikap tidak ada yang terjadi antara kami atau memang dia sudah betul melupakannya. “Ahh, entahlah”, gumanku.
Kami berkeliling dan menikmati indahnya Kota Yogyakarta. Ku ajak dia ke tempat-tempat ramai dikunjungi orang. Setelah lelah berkeliling, kami mengunjungi sebuah kafe. Aku duduk berhadapan dengannya. Pelayan kafe memberikan menu dan kami memesannya. Seperti biasa, aku tahu Irene akan memesan nasi goreng. Itu memang makanan favoritnya. Selama menunggu pesanan, kami sama-sama membisu. Ku beranikan diri bertanya tentang kisah asmaranya. Aku bercanda tentang siapa yang dekat dengan dia sekarang. Setauku dia memang sampai sekarang tidak memiliki pacar atau semacam teman spesial.
“Yah, seperti itulah. Aku tidak dengan siapa-siapa. Berlalu begitu saja”, jawab Irene. Lama kelamaan tidak tahu kenapa, kami mulai terbawa dalam cerita masa lalu kami.
Sebenarnya Irene merupakan seseorang yang pernah menjadi masa laluku. Keyakinan menjadi penghalang bagi kami. Dimana dia ke Gereja setiap hari Minggu, sementara aku harus sholat. Awalnya aku hanya berpikir jalanin saja dulu. Namun lama kelamaan akupun merasakan keraguan.
Sebenarnya aku yang memutuskan hubungan, karena aku berpikir untuk apa menjalin hubungan tapi tahu akhirnya berpisah. Disatu sisi aku itu pengecut, aku tidak mau berjuang. Namun caraku memutuskannya bisa dikatakan tidak baik. Bagaimana tidak, aku menghilang setelah lulus-lulusan SMA. Aku tidak pernah berjumpa dan menghubungi Irene sama sekali. Karena menurutku sama saja jika kami menjalankannya hingga bertahun-tahun dan berakhir di ujung.
Aku tidak tau alasan kenapa Irene masih mau bertemu denganku. Bahkan mau berjalan-jalan denganku. Aku rasa dia membeciku karena aku menghilang. Lalu kutanyakan alasannya ke Irene.
“Sebenarnya, aku sedih kamu pergi entah kemana. Aku coba hubungi kamu, aku coba agar aku bisa jumpain kamu. Tapi kamu selalu menghindar. Dan sampai aku tahu kalo kamu uda di Yogyakarta. Aku marah, aku sedih, aku rindu. Itulah yang kurasakan. Sampai aku berfikir, sampai kapan aku harus seperti itu?. Hari demi hari, aku mulai mencoba melupakan. Walaupun tidak sepenuhnya, tapi setidaknya aku sudah berdamai dengan hatiku agar aku merelakan kamu. Makanya disini aku merasa seperti biasa saja. Kalaupun rasa rindu ada, mungkin saat ini sudah terobati. Karena rasa rindu itu tidak bisa diatur.
“Aku juga berpikir tidak selamanya cinta itu harus saling memiliki. Jika aku sayang kamu, aku hanya mendoakan yang terbaik untuk mu Irene”, kataku ke Irene menutup percakapan kami. Setelah menjelaskan semua ke Irene aku merasa beban selama ini yang ku tanggung legah. Karena sebelum aku membuka hatiku ke orang lain, aku harus berdamai dengan masa laluku. Aku melihat Irene menganggukkan dagunya dan memberikan senyuman kepadaku. Seakan dia juga mengerti maksud dari penjelasanku.
Matahari sudah terbenam, kami pun menyudahi perbincangan kami. Aku ajak dia pulang agar nanti tidak kemalaman. Saat perjalanan pulang, ada sesuatu yang mengenai bahuku. Dengan cepat aku menoleh ke belakang, ternyata kepala Irene menyentuh bahuku. Seakan meminjam bahuku untuk istirahat sebentar. Tangan kecilnya yang masih memegang ujung kemejaku. Aku jaga bahuku agar dia tak terbangun. Dan akhirnya kami sampai di depan Kos Naomi, dengan lembut ku goyangkan bahuku. Dia pun terbangun. Dia turun kemudian berpamitan. Tak lupa juga dia berterimakasih dengan senyuman yang kecil di wajahnya. Dan akupun pulang.
***
Hari ini dimana Irene pulang ke Jakarta, aku tanya Naomi jam berapa Irene berangkat. Irene pergi sore hari. Aku pun menyodorkan diri untuk menggantar dia ke stasiun. Mereka mengiyakan tawaranku, langsung aku bergegas ke kos Naomi. Ku bantu Irene untuk membawa membawa kopernya dan memasukkan ke bagasi mobilku. Kami pun berangkat. Memang sengaja kami berangkat lebih awal, biar nanti di stasiun tidak tergesa-gesa. Ditambah Yogyakarta yang memang macet.
Sesampainya di stasiun kami memutuskan untuk makan di pinggiran jalan. Aku duduk disamping Irene. Naomi juga duduk namun agak jauh dari kami. Seakan-akan memberi izin untuk kami berdua. Irene teringat ada sesuatu yang ingin dibelinya. Dia mengajakku untuk menemani dia. Kami pun bergegas, Naomi tinggal di tempat makan itu sembari menunggu pesanan kami datang.
Saat itu memang mendung dan rintik-rintik hujan mulai terasa di permukaan kulit kami. “Ren, gerimis. Tutup kepalamu dengan tanganmu”, suruhku ke Irene. Aku tidak tahu mengapa aku bisa mengatakan itu. Aku kuatir saja nanti dia akan sakit. Mungkin dia tidak mendengar karena jarak antara kami pun bisa di bilang jauh. Dia berjalan di depanku. Dia tetap berjalan tanpa melihat ke belakang. Seakan tidak masalah dirinya terkena rintikan gerimis.
Tanpa pikir panjang, kubuka jaketku dan kupayungi dia. Terlihat jelas diwajahnya bahwa dia agak terkejut. Karena ukuran jaketku agak kecil sehingga tubuh kami pun saling berdekatan. Jangan kan tubuh, wajah kami pun berdekatan. Tak berani aku menatapnya, aku menatap terus kedepan. Dan menyamakan langkah kaki kami.
Tiba-tiba suara kecil terdengar jelas di telingaku. “Aku pergi ya”, kata Irene dengan nada yang rendah. Lalu aku menatapnya dan dia juga menatapku. Sejenak langkah kaki kami berhenti, aku beranikan diri untuk menatapnya lebih lama. Jarak muka kami dekat, disitu aku melihat jelas raut mukanya yang sedikit layu. Tidak ada senyuman seperti biasanya. “Iya”, jawabku dengan singkat. “Kamu tuh harus semangat dong ”, jawabku. Seolah-olah tegar tapi sebenarnya ingin menahannya agar lebih lama lagi tinggal disini.
Kaki kami pun melangkah lagi dan sampai di sebuah toko kelontong. Sesudah siap, kami pun kembali ke tempat makan di pinggir jalan itu. Setelah kami makan, kami pun menggantar Irene ke dalam stasiun. Karena sebentar lagi keretanya akan berangkat.
Rasanya berat sekali untuk membiarkan dia pergi. Setelah Irene berpelukan dengan Naomi, Irene menuju ke arahku. Dia hanya menjulurkan tangannya. Ku sambut tanggannya dan dia mengucapkan terimakasih karena aku sudah mengantarnya jalan-jalan.
Setelah berpamitan, dia pun masuk dan kulihat dia berjalan menuju gerbong kereta. Aku tidak beranjak pergi, aku terus melihatnya hingga dia tidak terlihat lagi. Naomi pun mengajak aku pulang. Dan akupun berbalik pulang,
Selama di perjalanan, aku hanya diam. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu. Sebagian perasaanku lega, sebagian lagi aku merasa kehilangan. Entah apa alasannya. Akupun tidak tahu. Yang jelas, aku harus membuka hatiku untuk seseorang yang baru. Aku tau bahwa cinta tak harus memiliki. Yah, kata-kata itu cukup menghiburku. Ada sesuatu yang belum ku katakan ke dia bahwa sebenarnya masih ada dirinya terkunci di hatiku.
Entah apa alasannya aku tidak tahu mengapa dia masih disitu. Disatu sisi aku harus mengikhlaskan dirinya seperti yang Irene lakukan terhadapku. Aku harus merelakan dirinya, merelakan kisah sebentar antara aku dan Irene, serta mulai berdamai dengan masa lalu diriku. Gerimis yang datang saat itu seakan menggambarkan kesedihanku.Dan sendunya Yogyakarta menjadi saksi perpisahan kami yang sebenarnya.