Oleh: Syifa Irhamna
Sehat sering kali dipersepsikan dari segi fisik saja. Padahal sehat juga berarti tentang kesehatan jiwa. Sayangnya, persoalan kesehatan jiwa masih dianggap kalah penting dibandingkan kesehatan fisik. Padahal saat ini sudah ada asuransi kesehatan yang menawarkan perlindungan terkait kesehatan mental.
Di negara yang sedang berkembang, isu kesehatan mental masih menjadi topik yang terpinggirkan. 4 dari 5 orang dengan gangguan mental belum mendapatkan penanganan yang sesuai dan pihak keluarga pun hanya menggunakan kurang dari 2% pendapatannya untuk penanganan orang dengan gangguan mental.
Di Indonesia sendiri, stigma terhadap orang dengan gangguan mental menyebabkan mereka semakin sulit untuk mendapatkan penanganan yang tepat dan terisolasi. Bahkan data dari riset kesehatan dasar menyebutkan bahwa pada tahun 2013 terdapat 56.000 orang dengan gangguan mental yang dipasung karena stigma negatif, kurangnya informasi, dan buruknya fasilitas penanganan.
WHO menyebutkan, anak muda alias generasi milenial saat ini lebih rentan terkena gangguan mental. Terlebih masa muda merupakan waktu di mana banyak perubahan dan penyesuaian terjadi baik secara psikologis, emosional, maupun finansial.
Bahkan menurut WHO (World Health Organization) dan WEF (World Economic Forum) gangguan mental menjadi beban ekonomi terbesar di seluruh dunia dibanding isu kesehatan lain dengan menghabiskan $2,5 triliun pada tahun 2010 dan diperkirakan menjadi
$6 triliun dolar pada tahun 2030 karena 2/3 dari hilangnya dana terpakai akibat disabilitas dan kehilangan pekerjaan. WHO pun dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan kesehatan fisik dan mental secara berimbang merupakan sebuah kewajiban yang harus ditanggung bersama oleh pemerintah dan segenap masyarakat.
Berdasarkan kenyataan tersebut sudah sepatutnya masyarakat untuk lebih aware akan pentingnya kesehatan mental karena berdampak langsung terhadap perekonomian negara dan mempengaruhi indeks pembangunan manusia. Perilaku negatif dan stereotip bahwa orang dengan gangguan mental adalah seseorang yang aneh dan berbahaya yang sering disematkan masyarakat semakin mempersulit orang dengan gangguan mental untuk dapat menerima penanganan yang sesuai dan menghambat proses kesembuhan dan adaptasi sosial mereka.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan sikap masyarakat yang lebih memilih untuk melakukan pemasungan dan pengobatan tradisional tanpa bukti dampak yang kuat daripada mencari psikolog, psikiater ataupun praktisi kesehatan mental lain.
Berdasarkan data WHO pada tahun 2005, terdapat 50.000 orang yang melakukan bunuh diri setiap tahun dan terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa orang dengan gangguan mental kurang mendapatkan dukungan sosial sehingga lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Banyak hal yang masyarakat bisa lakukan untuk mengatasi hal tersebut. Salah satunya adalah dengan mengurangi stigma negatif terhadap orang dengan gangguan mental serta menyadari dan menerima bahwa mereka sebenarnya juga merupakan seorang manusia yang layak untuk mendapatkan perhatian dan penanganan yang sesuai. Selain itu, masyarakat dapat pula menumbuhkan sikap lebih peka terhadap sanak keluarganya.
Bila salah seorang anggota keluarga terlihat memiliki beberapa simtom yang mengarah pada gangguan mental, deteksi dini gangguan mental menjadi langkah penting yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi agar orang dengan gangguan mental tidak mengalami kondisi yang semakin buruk.
Informasi terkait simtom dan langkah awal penanganan orang dengan gangguan mental telah banyak bertebaran di internet. Salah satu bentuk kepedulian kita terhadap sanak keluarga adalah dengan mengumpulkan informasi tersebut dan membantu menyebarkannya ke orang – orang terdekat. Menyediakan waktu untuk mendengarkan dengan tulus permasalahan kerabat yang terdiagnosis gangguan jiwa tertentu dapat mencegah gejala semakin memburuk. Selanjutnya, kesadaran bahwa kondisi gangguan mental sama pentingnya dengan kondisi gangguan fisik perlu lebih ditingkatkan.
Berkaitan dengan hal itu, pemerintah dapat memberikan sosialisasi dan edukasi tentang berbagai gangguan mental untuk mengurangi stigma dan salah persepsi yang sering disematkan masyarakat kepada orang dengan gangguan mental. Pemerintah juga perlu untuk lebih memperhatikan fasilitas dan kualitas dari penanganan orang dengan gangguan mental.
Ilustrator: MII