Medan | Neraca – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Politeknik Negeri Medan menggelar kegiatan Bincang Asyik Bareng Tokoh 3.0 (BISIK TOKOH 3.0) dengan tema “Memutus Rantai Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus” melalui Zoom Cloud Meetings pada Sabtu, 11 Desember 2021.
Acara yang dimulai pada pukul 13.00 WIB s/d selesai ini menghadirkan para narasumber yang luar biasa yaitu Hendro Susanto selaku Ketua Komisi A DPRD Sumut) dan Widya Sujud Nadia selaku ASN KPU Provinsi Sumatera Utara dan Koordinator Pemberdayaan Perempuan BEM-SI Sumut 2017-2018. Serta hadirin yang ikut serta dalam kegiatan ini ialah Wadir III Bidang Kemahasiswaan, DPM, HMPS, UKM dan LPM Neraca.
Sebagai pembuka acara, moderator menyampaikan bahwasanya pelecehan dan kekerasan seksual saat ini bisa terjadi di mana saja, kapan saja, bahkan pelakunya bisa siapa aja termasuk orang-orang yang kita percaya sekalipun. Tentunya hal ini menjadi permasalahan terbaru bagi Indonesia yang harus dicari tahu apa solusinya. Sebagai mahasiswa juga harus tahu apa yang dilakukan supaya hal tersebut tidak terjadi pada diri kita ataupun orang-orang di sekitar kita.
Untuk itu, para narasumber diajak untuk berdiskusi dan berbagi pendapat kepada para peserta mengenai pelecehan dan kekerasan seksual di ruang lingkup kampus yang dilakukan oleh oknum pengajar.
Menurut Ketua Komisi A DPRD, kampus ialah tempat untuk menumbuhkembangkan potensi anak bangsa. Maka, kampus harus bisa menjadi tempat yang sehat, aman dan nyaman. Sehat secara demokratis, beragama, berorganisasi dan proses belajar mengajar. Jika nyaman berarti kampus harus bisa memberikan rasa nyaman kepada pengajar dan mahasiswa. Serta kampus aman dipastikan harus memiliki tanggung jawab kepada petinggi kampus dan organisasi kampus. Karena rasa aman ini adalah tugas kita semua.
“Kenapa muncul kasus pelecehan seksual? Karena aspek kampus aman ini mulai melonggar. Mulai tidak menjadi substansi aksi yang harus diperhatikan dan pembinaan mahasiswa di kampus mulai kendor. Mungkin akibat dari kondisi daring, sehingga transfer attitude itu kurang membentuk karakternya,” katanya.
Ketua Komisi A DPRD tersebut juga menambahkan bahwa definisi pelecehan seksual ini harus mencermati perspektif secara komprehensif. Jika dalam kontruksinya pelecehan seksual itu memutus potensi-potensi perzaliman terhadap perempuan, ia sepakat. Akan tetapi, jika dalam konteks yang lain, seperti melanggar norma-norma kewajaran, ia tidak sepakat. Karena kita memiliki pemahaman yang utuh dan baik. Serta menolak pelecehan dan kekerasan seksual yang dapat merugikan pihak perempuan ataupun laki-laki. Jangan sampai kita mendapatkan dosa jariyah karena mendukung pelecehan seksual dalam perspektif yang lain. Karena korban-korban dari perang pemikiran ini luar biasa.
Setelah selesai menyampaikan pendapatnya, pertanyaan yang sama juga dilayangkan ke Widya Sujud Nadia. Ia mengatakan bahwasanya pelecehan dan kekerasan seksual ini menjadi masalah yang tidak pernah selesai dari tahun ke tahun. Kekerasan seksual di kampus diibaratkan seperti gunung es, tersembunyi dan terpendam. Berdasarkan data, sebanyak 77% dosen menyatakan bahwasanya kekerasan seksual terjadi di kampus, yang berani melaporkan hanya 14%. Bayangkan, 63% ini ke mana? Mereka memendam dan memilih bungkam.
Widya juga menambahkan bahwa Pasal Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 yang diperuntukkan bagi kampus menuai polemik. Karena isi dari pasalnya terdapat kalimat ‘tanpa persetujuan korban’ yang berarti kalau korban setuju, pelecehan seksual ini diperbolehkan di dunia kampus. Seharusnya peraturan ini melindungi korban bukan memperbolehkan terjadinya perzinahan atau pelecehan seksual.
“Pelecehan dan kekerasan seksual bisa terjadi karena sistem saat ini gagal mengatur urusan rakyat. Aturan yang dibuat manusia nggak akan bisa menyelesaikan masalah secara tuntas, akan ada masalah baru yang selalu timbul. Sebenarnya saat ini kita hanya butuh peraturan yang benar untuk mengatur segala problematika dalam kehidupan. Maka, kita harus ambil aturan yang benar dari pemilik kehidupan ini. Supaya hidup kita menjadi lebih baik dan tidak menderita,” kata salah satu mahasiswi yang mengikuti acara BISIK TOKOH 3.0.
Menurut Hendro Susanto, langkah-langkah yang harus diambil oleh mahasiswi agar terhindar dari pelecehan dan kekerasan seksual di kampus yaitu setiap mahasiswi harus memiliki ketahanan diri yang dibentuk dari nilai-nilai agama, harus berani menyampaikan pendapat baik salah maupun benar, jangan merasa tidak enakan, kalau oknum tersebut mengeluarkan tanda ingin melakukan kekerasan seksual. Harus berani menolak, jangan takut karena nilai jelek atau tidak lulus. Kemudian miliki komunikasi yang baik terhadap petinggi kampus dan organisasi kampus serta jadilah orang yang peduli terhadap sesama dan jangan jadi orang yang individualis. (PA/IDM)