Medan | Neraca – Dimulai pada bulan September 2021 telah terjadi lonjakan harga minyak goreng yang dipicu oleh beberapa faktor seperti peningkatan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel sebagai penerapan kebijakan B30 dan terjadinya penurunan produksi minyak sawit dunia.
Kenaikan harga ini tidak hanya terjadi pada minyak kemasan saja, namun pada minyak curah sekalipun. Dikarenakan hal tersebut banyak masyarakat yang resah.
Salah satu ibu rumah tangga yang merupakan konsumen minyak goreng mengutarakan kekecewaannya terhadap situasi ini, “Saya sangat kecewa dengan situasi saat ini, karena minyak goreng menurut saya sangat penting. Bagaimana saya bisa memasak jika produk yang sangat saya butuhkan saat ini tidak tersedia. Padahal saya belanja di grosir, tempat pembelanjaan yang lumayan besar dan terbilang cukup lengkap untuk belanja kebutuhan pokok.” ucap ibu Ani selaku salah satu ibu rumah tangga.
Pada tanggal 19 Januari 2021, pemerintah mengambil tindakan atas hal ini dengan melakukan penetapan harga minyak goreng 1 harga menjadi harga 14.000/liter.
Hal ini membuat masyarakat mulai berbondong-bondong berebut antri untuk membeli minyak. Adapun tanggapan oleh ibu Ani terhadap hal ini, “menurut saya kebijakan yang diterapakan pemerintah saat ini masih belum cukup efektif. Banyak masyarakat yang berebut minyak goreng, membuat kerusuhan di market-market yang menjual minyak goreng tersebut, ada pula yang tidak mendapat stock karna habis. Harusnya pemerintah ambil tindakan lebih lanjut atas hal ini, masyarakat tertekan karna kehabisan minyak dirumahnya”.
Tak hanya pada ibu rumah tangga, masalah pun dialami oleh para pengusaha rumah makan. Salah satu pemilik rumah makan mengeluh bahwa dengan naiknya harga minyak mereka mengalami kendala dan penurunan pendapatan, karna biaya produksi yang naik namun sulit untuk mereka menaikkan harga jual dikarenakan takut akan menyebabkan mereka kehilangan banyak pelanggan
“Penetapan pembelian dengan maksimal 2 liter oleh distributor ini masih meresahkan kami, karna kami saja dapat menghabiskan sekitar 4 liter minyak dalam kurun waktu sehari untuk mengoreng lauk yang akan kami jual kepada para pelanggan. Jika kami menggunakan minyak tersebut berulang kali atau minyak jelantah pasti akan mempengaruhi rasa makanan serta tidak bagus juga untuk kesehatan para pelanggan kami” tambahnya
“Menurut saya wajar jika banyak masyarakat yang sampai berebutan antri membeli minyak goreng, karna minyak goreng yang langka dipasaran serta kebutuhan akan minyak goreng yang harus terpenuhi.sehingga membuat masyarakat rela menunggu berjam jam untuk hal tersebut dan memaksa untuk mendapatkannya” ungkap salah satu pengusaha rumah makan terhadap penyerbuan minimarket maupun supermarket oleh masyarakat.
Seperti yang telah kita ketahui dari informasi para konsumen minyak goreng tersebut, dapat kita simpulkan bahwa panic buying bukan tanpa alasan, panic buying ini terjadi karna minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan sehari hari yang wajib terpenuhi.
Krisis minyak goreng ini perlu menjadi perhatian pemerintah untuk mengkoordinir produsen dan distributor minyak goreng agar mendistribusikan minyak goreng secara rutin kepada masyarakat luas sehingga tidak terdapat oknum-oknum yang melakukan penimbunan. (RAB/NM/TPB)