Medan | Neraca – Selasa (22/11) pada pukul 15.00 WIB di Garden Cafe Setia Budi Foodcourt, JL. Setia Budi No. 41a. Tanjung Sari, Medan Selayan Kota Medan sedang berlangsung diskusi antar seluruh jurnalis se-Kota Medan mengenai RKUHP tentang :
- Masalah pasal kolonial; penghinaan presiden, penghinaan pemerintahan yang sah, penghinaan kekuasaan umum/lembaga negara, penghinaan terhadap simbol negara;
- Pasal living law;
- Respon RKUHP terhadap UU TPKS; pasal perkosaan, pemaksaan aborsi;
- Promosi alat kontrasepsi;
- Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi.
Pada 9 November lalu, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM kembali menyerahkan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pemerintah memberikan dua berkas yaitu draf RKUHP dan matriks perubahan draf RKUHP dari versi 4 Juli ke 9 November. Pemerintah yang diwakilkan oleh Wamenkumham Eddy Hiariej setidaknya menyampaikan 4 poin besar perubahan mulai dari penghapusan, penambahan, reformulasi, dan reposisi.
Sayangnya, poin-poin yang disampaikan oleh Eddy atas perbaikan-perbaikan dalam RKHUP versi 9 November masih belum sepenuhnya mengakomodir masukan dari masyarakat sipil terutama dalam isu-isu krusial. Aliansi Reformasi RKUHP Kota Medan setidaknya menyoroti 3 isu besar yang menjadi konsen saat ini yaitu kebebasan sipil, living law, dan kesehatan reproduksi.
Isu yang aliansi sampaikan hari ini bukan berarti mengesampingkan isu-isu krusial lain. Namun, di tengah banyaknya isu yang perlu direspons dan waktu pengesahan yang semakin dekat, kami kira penting untuk mengelola isu yang saat ini sangat akan sangat mempengaruhi lingkup kehidupan sipil.
Pertama, Aliansi memberikan catatan kritis atas pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan sipil. RKHUP masih mempertahankan pasal mengenai penghinaan presiden, pemerintah, dan lembaga/kekuasaan yang umum. Misalnya dalam pasal 240 yang berbunyi,“setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Pasal tersebut merupakan pasal kolonial yang sudah dinyatakan inkonstitusional berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Pasal tersebut menunjukan watak kekuasaan saat ini yang anti-kritik dan berusaha melegitimasi pembungkaman tersebut melalui KUHP bahkan coba menggiring narasi publik mengenai analogi anak yang menghina bapak yang bagi kami adalah suatu yang sesat pikir.
Kemudian, pasal 256 yang mengatur mengenai unjuk rasa yang dapat dipidana. Meskipun pemerintah sudah mengklaim bahwa sudah ada perubahan dalam pasal tersebut namun bagi kami tidak ada perubahan yang substansial. Pasal tersebut berbunyi, “setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Jelas dalam UU kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum nomor 9 tahun 1999, menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dan dilindungi. Justru, pihak yang menghalang-halangi dengan kekerasan lah yang dapat dikenakan pidana.
Selain itu juga ada pasal tentang makar di pasal 160, 190-192, dan 193 ayat (1). Dalam naskah asli, makar dirumuskan sebagai setiap tindakan dengan kekerasan termasuk di dalamnya percobaan untuk itu.
Dari sini kita dapat lihat, hak-hak warga yang tidak dapat dibatasi itu dibatasi oleh negara sedangkan hak-hak yang bisa dibatasi justru dibatasi secara berlebihan oleh negara. Serta aturan yang harusnya dibuat untuk melindungi warga malah rancang sedemikian rupa untuk melindungi kekuasaan.
RKUHP draf 9 November juga berpotensi besar menyebabkan penyempitan ruang akademik melalui pasal 188 tentang Penyebaran atau Pengembangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Ruang akademik yang harusnya memberikan kebebasan sepenuhnya pada seseorang untuk berpikir dan mengembangkan suatu diskursus justru dibatasi lewat RKUHP. Semangat dekolonialisasi malah tidak tercermin dalam pasal-pasal tersebut. Pengembangan terhadap suatu diskursus apapun tanpa terkecuali akan menjadikan
Kedua, beberapa pasal yang mengatur mengenai living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasal tersebut tidak sejalan dengan asas legalitas bahwa perbuatan pidana hanya suatu perbuatan yang telah tertulis dalam aturan hukum. Sehingga pasal 2 RKUHP yang mengatur mengenai living law bagi kami merupakan pasal yang sama sekali tidak menjawab persoalan yang dialami oleh masyarakat adat saat ini.
Pasal living law dalam RKHUP kami nilai hanya sebagai upaya pemerintah untuk memberikan citra baik mengenai pengakuan terhadap masyarakat adat. Hukum adat pada dasarnya memiliki karakter tidak tertulis dan berubah sesuai dengan konteks waktu dan tempat namun RKHUP justru akan menuliskan itu. Pasal living law yang melewati asas legalitas justru menghina masyarakat itu sendiri.
Ketiga, catatan mengenai pasal-pasal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Terkait dengan aborsi ada di pasal 465, 411, 251. Namun tim perumus sudah menambahkan pengecualian aborsi untuk korban KS, ini suatu kemajuan yang patut diapresiasi. Namun batas yang diberikan hanya 12 minggu.
Padahal Pada 9 Maret 2022 WHO menerbitkan panduan baru tentang Abortion Care untuk memberikan panduan kepada negara-negara untuk menyusun kebijakan aborsi aman. Standar WHO aborsi kehamilan juga dapat dilakukan sebelum 14 minggu. Karena 2 minggu bagi korban kekerasan seksual amatlah penting.
Kemudian pasal yang menyebutkan melarang orang memperkenalkan, membeli atau menjual obat penggugur kandungan Pertanyaannya adalah apa yang ingin dilindungi dari ketentuan ini? apabila merujuk pada KUHP yaitu Pasal 299, ketentuan serupa diletakkan dalam kelompok tindak pidana kesusilaan. Lebih lanjut, ketentuan yang melarang tentang penyebaran obat yang tidak memiliki izin juga sudah ada serta larangan terhadap aborsi beserta pengecualiannya sudah diatur. Oleh karena itu, pasal ini seharusnya dihapus.
Mengenai kontrasepsi pasal ini berisiko membatasi akses anak dan remaja ke informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya alat pencegah kehamilan. Terbatasnya akses informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi untuk anak-remaja berkaitan erat dengan
Kenaikan angka kehamilan remaja. Profil Kesehatan Indonesia 2020 menyebutkan bahwa kehamilan pada remaja perempuan merupakan salah satu faktor yang meningkatkan Angka Kematian Ibu (Kemenkes, 2020). WHO (2019) menyebutkan 55% kehamilan tidak diinginkan oleh remaja perempuan berujung pada praktik aborsi tidak aman dengan risiko peningkatan kematian ibu. Bukti menunjukkan bahwa kampanye pengendalian penduduk lebih efektif jika melibatkan masyarakat, teman sebaya, dan tokoh masyarakat (Hull, 2004). Jika harus menunggu izin pejabat, maka akan menghambat Kami sadar betul bahwa pengesahan RKUHP saat ini menjadi penting mengingat kita masih menggunakan KUHP lama turunan kolonial Belanda. Sehingga kami sangat mendukung semangat dekolonialisasi RKUHP namun jangan sampai KUHP yang disahkan nantinya justru berisi pasal-pasal yang kontraproduktif dengan semangat dekolonialisasi.
Selama ini pembahasan RKUHP belum cukup memperhatikan pandangan masyarakat di tingkat regional. Berdasarkan hal ini, ICJR sebagai bagian dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP merasa penting kemudian untuk dapat mengkonsolidasikan gerakan masyarakat sipil di daerah, untuk memberikan dorongan kepada Pemerintah dan DPR agar pembahasan tidak hanya terbatas di berbgai isu itu saja. Konsolidasi ini diharapkan akan menghasilkan aksi bersama untuk memberikan tuntutan kepada Pemerintah dan DPR untuk dapat melakukan pembahasan yang serius terhadap RKUHP di masa sidang lanjutan. Untuk itu, diadakan kegiatan Konsolidasi RKUHP dengan jaringan daerah salah satunya di Medan.
Adapun tujuan dari dilaksanakannya agenda ini adalah sebagai berikut :
- Memberikan informasi mengenai perkembangan pembahasan RKUHP;
- Mendorong peran jurnalis untuk memaksimalkan;
- Kampanye gerakan revisi pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP. (DPP)