Medan | Neraca– Jum’at (23/12), telah dilakukan pemberian sanksi oleh DPM Polmed kepada BEM Polmed dikarenakan BEM telah melanggar ketetapan DPM No. 2 Tahun 2019 pasal 10G dan pasal 10 mengenai surat pemberitahuan dan berita acara. Dengan landasan UUD KEMA Polmed pasal 26 ayat 1 Badan Eksekutif Mahasiswa wajib melaksanakan peraturan yang ada di lingkungan KEMA Polmed.
Pada penjelasan pihak DPM, komisi 1 telah mengingatkan untuk beberapa kali perihal masalah surat pemberitahuan tidak hanya dilakukan di dalam RDP berkala bahkan mereka telah mengingatkan langsung melalui sosial media-WhatsApp, tetapi teguran pihak DPM tersebut dianggap sepele oleh pihak BEM. DPM juga telah memperingatkan pihak BEM mengenai pelanggaran dan konsekuensi tetapi tidak juga dilihat perubahan dari pihak BEM meskipun pihak DPM telah mengingatkan sebelum serta sesudah kegiatan mereka dilaksanakan.
“Melihat dari kami komisi 1 telah memberikan upaya yang besar untuk menghindari kesalahan yang ada pada BEM maka kami berkoordinasi untuk membahas langkah yang diambil. Hasil dari pembahasan pihak BEM akan diberikan sanksi dan disetujui di raming. Kami dari DPM juga memberikan kesempatan kepada Presiden Mahasiswa untuk melakukan pembelaan di dalam sidang istimewa tetapi pada kenyataannya itu tidak dihiraukan oleh Presiden Mahasiswa sendiri/tidak hadir oleh karna itu, sesuai dengan ketetapan DPM No. 2 Tahun 2019 Bab 8 mengenai sanksi pasal 27 sanksi tertulis diberikan kepada pihak BEM karna telah melanggar ketentuan yang ada pada ketetapan ini”, Ungkap pihak DPM terhadap pemberian sanksi BEM.
Keputusan ini pun mendapat perhatian seluruh warga Polmed saat diunggah di media sosial-Instagram DPM. Pihak DPM mengakui bahwa BEM tidak ada memberikan respon apapun terkait hal tersebut. “Hanya buzzer saja yang berkomentar, tidak ada respon dari BEM periode 2021/2022”.
Dalam wawancaranya pihak DPM menjelaskan bahwa postingan surat keputusan tersebut merupakan teguran keras pihak DPM kepada pihak BEM.“ Kami merasa ini sudah merupakan langkah yang cukup efisien untuk menyelasaikan masalah tersebut, mengingat komisi 1 telah memberikan upaya yang besar untuk menghindari kesalahan yang terjadi. Keputusan ini sudah absolut dan tidak dihapus, mengingat tidak ada juga pembelaan dari pihak BEM, kehadiran Presma, saat diadakannya sidang istimewa (26/11)”.
Meskipun diresmikannya keputusan DPM tersebut tanpa ada respon dari pihak BEM, dalam wawancaranya pihak BEM berdalih dan menyuarakan pendapatnya atas keputusan DPM dan mengenai UU DPM, “ini seperti cerita anekdot yang dipertontonkan. Bagaimana bisa si pelanggar hukum menetapkan suatu produk undang-undang dan memberi sanksi dengan produk undang yang dibuatnya sendiri. Ada aturan hukum tertinggi di Kema Polmed yaitu UUD Kema Polmed. Berdasarkan UUD Kema Polmed pasal 7 ayat 1, menyatakan bahwa DPM itu dipilih secara demokratis. Demokratis artinya harus dengan legitimasi mahasiswa atau dipilih langsung oleh mahasiswa. Lalu bagaimana dengan DPM yang sekarang dipilih melalui open reqruitment biasa?. Bukankah bertentangan dengan undang-undang tertinggi di Kema Polmed?. Bagaimana bisa dewan perwakilan tidak dipilih oleh mahasiswa dan menyatakan dirinya sebagai dewan perwakilan”, ungkap pihak BEM yang merasa DPM tidak menjalankan pemilihan seperti seharusnya.
“Dalam ilmu komunikasi, surat adalah pesan yang dibuat oleh komunikator untuk disampaikan ke komunikan. Tujuan akhir dari pesan adalah bahwa pesan yang disampaikan oleh komunikator dapat diketahui dan dipahami oleh komunikan. Merujuk pada kondisi yang terjadi komunikan/ BEM disini sudah menerima pesan jauh sejak tanggal dipostingnya konten tersebut. Tujuan dari surat tersebut sudah terpenuhi, namun kenapa harus diposting? Dan jikalau dilihat jarak antaran tanggal surat dengan postingan sudah cukup lama, tujuan apa lagi yang ingin dicapai?. Apakah mungkin untuk memicu konflik?, namun apa manfaatnya?. Hal ini justru melanggar prinsip ethics antar organisasi kemahasiswaan”, sambungnya mengenai postingan DPM yang dilayarkan di salah satu sosial media “DPM.
Tidak hanya itu dalam ungkapannya pihak BEM juga merasa adanya kesenjangan jabatan antara BEM dan DPM. “Selain itu dasar yang dipakai adalah dengan TAP DPM. TAP DPM dibuat dan disahkah oleh DPM sendiri. TAP DPM umumnya mengatur tentang hubungan kerja antara BEM dan DPM. Namun kenapa ini ditetapkan sepihak sedangkan ini menyangkut kedua belah pihak? Dan memaksakan BEM untuk mengikuti TAP tersebut. Kita sebagai mahasiswa juga menganggap itu pasti tidak adil, padahal disini kedudukan DPM dan BEM itu sama. Banyak yang harus dibenahi dari produk peraturan perundang-undangan di Kema Polmed, harusnya ini menjadi atensi bersama terutama pihak legislatif kita. Kami dari BEM periode kali ini sedang berfokus dengan waktu yang ada untuk melaksanakan fungsi-fungsi kami untuk membantu mahasiswa dalam hal advokasi, laksanakan program yang menstimulasi jiwa prestatif mahasiswa/i Polmed, dan lain sebagainya.” Adanya konflik antara DPM dan BEM ini pun memicu berbagai opini mahasiswa, terutama adanya surat peringatan yang diunggah oleh DPM membuat para mahasiswa menggebu menyuarakan aspirasinya di kolom komentar dengan berbagai sudut pandang. Meskipun adanya kebebasan aspirasi diharapkan agar mahasiswa dapat bijak berkomentar agar tidak menggiring opini publik ke hal yang tidak diharapkan. (NIM/TPB)