Medan | Neraca – Dalam rangka meningkatkan kesadaran akan isu-isu sosial yang relevan, Back to Muslim Identity community kembali menggelar sebuah acara bertajuk “Kelas Politik Aktivis” digelar di Amaliun Foodcourt Kota Medan, Sumatera Utara pada Sabtu,(05/08). Acara yang dihadiri oleh sejumlah aktivis kampus Kota Medan ini bertujuan untuk membahas fenomena menurunnya tingkat fertilitas di Sumatera Utara dan menggali penyebab serta implikasinya bagi masyarakat.
Ketua Tim Statistik Sosial BPS Sumut menyatakan bahwa Tren Angka Kelahiran Total (TFR) di Sumatra Utara menurun dalam 5 dekade terakhir, yakni di tahun 1971-2022. Hal tersebut diungkapkan dalam sosialisasi hasil long SP2020, Senin (30/03). Dijelaskan bahwa Sensus Penduduk 1971 mencatat angka TFR sebesar 7,20 yang artinya seorang perempuan melahirkan sekitar 7 anak selama masa reproduksinya. Sementara Long Form SP2020 mencatat TFR sebesar 2,48 berarti hanya sekitar 2 anak yang dilahirkan selama masa reproduksinya. Alasan tersebutlah yang menyebabkan dipilihnya tema “Fertilitas di Sumut Menurun : Gejala Childfree?,” pada diskusi ini.
Pada diskusi kali ini, BMI menggaet Roxsana Devi Tumanggor, S.Kep.Mnurs yang merupakan Dosen Keperawatan UDU dan Linda Wulandari, S.P.t, selaku pemerhati kebijakan publik sebagai pembicara. Acara dibuka dengan kata sambutan dari Yuslinda S.P,d, selaku moderator, pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Hijrah dan dilanjut dengan Pembahasan mengenai childfree oleh Roxsana.
Childfree sendiri digagas oleh National Organization for Non Parents pada 1972, yang kemudian
bertumbuh menjadi Gerakan feminisme ’70 sehingga ada studi mengenai Childfree
ini dan memunculkan organisasi dari berbagai negara.
Childfree sangat berbeda dengan Childless karena Childfree
merupakan pilihan sendiri seperti tidak adanya kesiapan, kesetaraan gender,
ekonomi, budaya, trauma yang mendalam, keluarga yang berantakan serta dampak
dari adopsi.
Childfree
sendiri
memiliki beberapa dampak yang dapat mengakibatkan pro kontra yakni banyaknya
pernikahan sejenis yang dilegalisi dengan kebebasan pernikahan tanpa anak atau
adopsi dari negara miskin, contohnya Afrika. Adapun dampak lain dari Childfree
ialah pernikahan di usia muda semakin meningkat sementara usia 40 tahun
semakin menurun, hal ini akan menyebabkan fertilitas menurun karena angka
produktif ada pada usia 20-30 tahun
Lalu,
sebagaimana biasanya, BMI juga membahas
mengenai stigma serta kontra dari sisi agama mengenai persepsi budaya penolakan
Childfree.
Dengan
terselenggaranya acara ini, BMI berharap aktivis ataupun juga mahasiswi akan
lebih tau apa itu Childfree serta dampak apa saja yang ditimbulkan
dengan adanya Childfree. (YSH)