Medan | Neraca – Badan Legislasi (Baleg) DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun, draft RUU Penyiaran versi 27 Maret 2024 yang beredar telah mengundang penolakan keras karena sejumlah pasal yang kontroversial. Berikut adalah pasal-pasal yang menuai kritik:
- Pasal 8A Ayat 1 – Menyebutkan 17 wewenang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Salah satu wewenang yang tercantum dalam huruf q adalah menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Wewenang KPI ini bertentangan dengan fungsi Dewan Pers yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 15 Ayat 2 Huruf d UU Pers menyatakan Dewan Pers salah satunya berfungsi memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
- Pasal 28A Ayat 1 – Melarang Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) menyalurkan isi siaran dengan kriteria tertentu. Siaran yang dilarang antara lain berisikan siaran yang melanggar ketentuan hukum. Ayat 2 menyatakan LPB yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi administratif oleh KPI, mulai dari teguran tertulis, penghentian sementara isi siaran bermasalah, atau penghentian siaran. Ayat 3 mengatur bahwa LPB harus melengkapi pelanggan dengan peralatan yang memungkinkan pelanggan menutup kanal yang tidak diinginkan.
- Pasal 34F Ayat 2 Huruf e – Mengatur bahwa penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lain wajib memverifikasi konten siarannya ke KPI sesuai pedoman perilaku penyiaran dan standar isi siaran. Penyelenggara penyiaran yang dimaksud termasuk kreator yang menyiarkan konten lewat YouTube, TikTok, atau media berbasis user-generated content lainnya. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 dan Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 juga mengatur konten-konten yang didistribusikan melalui platform UGC.
- Pasal 42 Ayat 1 – Mengatur bahwa muatan jurnalistik dalam isi siaran lembaga penyiaran harus sesuai dengan P3SPS dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, Ayat 2 mengatur bahwa penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut LBH Pers dan AJI Jakarta, pasal-pasal tersebut berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.
- Pasal 50B Ayat 2 Huruf c – Memuat aturan standar isi siaran yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dalam panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran. Pelarangan ini mengancam kemerdekaan pers dan bertentangan dengan Pasal 4 Ayat 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.
- Pasal 50B Ayat 2 Huruf k – Memuat standar isi siaran yang melarang penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme terorisme. Pasal ini dinilai subjektif dan multi tafsir, terutama perihal penghinaan dan pencemaran nama baik. Selain itu, pasal ini juga berpotensi menjadi alat membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis dan pers.
- Pasal 51E – Mengatur bahwa sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan ini berpotensi menimbulkan dualisme antara Dewan Pers dan KPI karena dapat memutuskan aduan terkait sengketa jurnalistik. AJI menyebutkan bahwa KPI selama ini berkoordinasi dengan Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa produk jurnalistik di bidang penyiaran. Dewan Pers sendiri memang berwenang menangani sengketa produk jurnalistik, namun pasal tersebut dapat membuat Dewan Pers tidak dilibatkan dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik dan dialihkan ke KPI.
RUU Penyiaran ini dikhawatirkan akan melemahkan fungsi Dewan Pers, mengingat Pasal 8 dan Pasal 42 memberikan kewenangan kepada lembaga lain selain Dewan Pers untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Dengan adanya perubahan ini, berbagai pihak merasa bahwa kebebasan pers berada dalam ancaman serius.
Menanggapi situasi ini, komunitas jurnalis yang tergabung dalam Jurnalis Anti Pembungkaman (JAP) mengajak seluruh pihak, terutama kalangan jurnalis di Sumatera Utara, untuk bergerak bersama mendesak pembatalan RUU Penyiaran ini. JAP menilai bahwa RUU ini berpotensi memberangus kebebasan pers yang selama ini telah diperjuangkan.
Aksi Damai Jurnalis Anti Pembungkaman ini dilaksanakan pada hari ini, Selasa, 21 Mei 2024, tepat pukul 10.00 WIB hingga 12.00 WIB, dengan titik kumpul di Warkop Jurnalis Jalan Agus Salim, Medan. Aksi ini sendiri menargetkan DPRD Sumatera Utara agar mendengarkan suara para jurnalis.
JAP menyerukan kepada semua pihak untuk berpartisipasi dalam aksi damai ini sebagai bentuk protes terhadap pengesahan RUU Penyiaran yang mengancam kebebasan pers. Aksi ini diharapkan dapat mengumpulkan kekuatan kolektif untuk mendesak pembatalan RUU tersebut dan menjaga hak-hak kebebasan pers di Indonesia.
Dengan adanya aksi ini, diharapkan DPRD Sumatera Utara dapat mendengarkan suara jurnalis dan masyarakat yang menolak RUU Penyiaran tersebut. Semua pihak diundang untuk hadir dan turut serta dalam menjaga kebebasan pers di Indonesia. (YSH)