Medan | Neraca – Aliansi Rakyat Melawan Impunitas (ARMI) menggelar aksi demonstrasi bertajuk “Mencari Hilangnya Keadilan di Pengadilan Militer” pada Rabu, 6 Agustus 2025. Aksi ini berlangsung di depan Pengadilan Militer I-02 Medan, Jalan Ngumban Surbakti No. 45, Sempakata, Medan Selayang, mulai pukul 11.00 hingga 15.00 wib.
Dalam aksi tersebut, massa menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan dalam proses hukum yang melibatkan anggota militer, khususnya dalam kasus kekerasan terhadap warga sipil. Berbagai bentuk ekspresi ditampilkan dalam unjuk rasa ini, mulai dari orasi, pembacaan puisi, pertunjukan teatrikal, hingga tabur bunga sebagai simbol perlawanan terhadap impunitas.
Sorotan pada Proses Hukum yang Tak Berpihak
ARMI menilai sejumlah perkara yang tengah ditangani Pengadilan Militer Medan menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku kekerasan. Mereka menyerukan agar prajurit TNI yang terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap warga sipil diadili secara transparan dan diberhentikan dari dinas kemiliteran.
Salah satu hal yang disorot massa adalah sikap tertutup pihak pengadilan. Andreas Sihombing, Pemberi Bantuan Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, mengatakan bahwa tidak ada satu pun perwakilan pengadilan yang bersedia menemui peserta aksi selama empat jam aksi berlangsung.
“Sejak pukul 11 sampai pukul 3 sore, tidak ada itikad baik dari pihak pengadilan untuk berdialog. Padahal kami datang membawa data, fakta, dan tuntutan yang jelas,” ungkap Andreas yang juga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Tiga Kasus Menjadi Titik Tekan
Dalam orasinya, Andreas menjelaskan bahwa aksi ini merupakan kelanjutan dari keprihatinan terhadap tiga kasus besar yang ditangani Pengadilan Militer Medan.
Kasus pertama adalah pembunuhan terhadap MHS pada tahun 2024. Hingga kini, terdakwa belum ditahan dan masih aktif berdinas. Bahkan, Andreas menyebut adanya dugaan intervensi hakim terkait restitusi, yang dapat memengaruhi putusan pengadilan.
Kasus kedua adalah kematian MAF, yang dijadwalkan akan memasuki sidang putusan pada 7 Agustus 2025. Menurut ARMI, terdapat sejumlah kejanggalan selama proses persidangan. Di antaranya, pergantian oditur sebanyak tiga kali, tekanan terhadap saksi kunci bernama Bayu untuk menandatangani surat pernyataan, serta tidak dihadirkannya saksi yang berpotensi memberatkan terdakwa. Selain itu, korban disebut mengalami “pembunuhan karakter” selama proses sidang berlangsung. Tuntutan oditur yang hanya 18 bulan penjara dinilai jauh dari rasa keadilan.
Kasus ketiga adalah penyerangan di kawasan Sibiru-Biru yang menyebabkan korban jiwa. Namun, terdakwa hanya dikenai pasal penganiayaan biasa dan dituntut 7 bulan 24 hari penjara. ARMI menilai bahwa proses persidangan tidak berfokus pada keadilan, melainkan lebih menekankan pembahasan tali asih daripada kronologi kejadian pembunuhan. Bahkan, saksi korban disebut mendapat tekanan saat memberikan kesaksian.
Tuntutan dan Harapan
Dalam aksi tersebut, massa menyampaikan sejumlah tuntutan. Mereka mendesak agar terdakwa kasus pembunuhan terhadap warga sipil segera ditahan, menuntut pemberian sanksi terhadap hakim dan oditur yang dianggap tidak berpihak pada korban, serta meminta dibukanya akses publik terhadap proses persidangan di peradilan militer. Di samping itu, mereka menyerukan pentingnya pemutusan rantai impunitas dalam setiap kasus kekerasan oleh aparat.
Andreas menyampaikan bahwa aksi ini bukan yang terakhir. Mereka akan terus melakukan konsolidasi bersama berbagai organisasi. Ia juga menegaskan bahwa ARMI akan hadir dalam persidangan putusan kasus MAF sebagai bentuk pengawasan.
“Kami akan hadir di sidang besok, memastikan proses hukum berjalan adil dan transparan. Kami ingin memastikan bahwa tidak ada lagi impunitas yang melukai keadilan,” ujar Andreas.
Melampaui Isu Hukum
Aksi ini menjadi pengingat bahwa keadilan yang hilang bukan hanya soal hukum, tapi juga menyangkut kemanusiaan. Melalui aksi teatrikal dan tabur bunga, ARMI ingin menunjukkan bahwa ketidakadilan adalah luka bersama yang harus disembuhkan.
“Ini bukan hanya tentang satu kasus,” tutup Andreas. “Ini tentang bagaimana negara seharusnya hadir untuk menjamin keadilan bagi seluruh rakyatnya. Jika pengadilan militer terus melanggengkan impunitas, siapa lagi yang akan membela korban?”
Di tengah tembok tebal impunitas, suara-suara dari jalanan menjadi pengingat bahwa keadilan bukan sekadar tuntutan hukum, melainkan hak dasar setiap manusia yang tak boleh diabaikan. (EBN)



