Artikel ditulis oleh Windy Pebriyanti Lubis
Medan | Neraca – Youth Ranger Indonesia Regional Sumatera Utara pada Sabtu, (02/07) selenggarakan Youth Power Politics yang mengangkat tema “youth & politics keep-up: discussing political considerations in health policies”.
Acara ini dibuka oleh Gilang Rahmadika selaku Master of Ceremony (MC) yang memandu event youth power politics. Kata sambutan juga disampaikan oleh ketua panitia yakni Alfani Pratama, yang dimana dalam pidatonya berisi tentang kegiatan ini dan ucapan terima kasih. Sambutan hangat juga disampaikan oleh ketua Youth Ranger Indonesia Regional Sumatera Utara dan CEO Youth Ranger Indonesia, yakni Muhammad Amir Hasibuan dan Dimas Dwi Pangestu.
Seperti yang diketahui, Presiden Jokowi baru saja menandatangani Perpres No 59 tahun 2024 yang mengatur tentang peleburan kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan menjadi kelas rawat inap standar atau KRIS, dengan tujuan untuk menciptakan kesetaraan yang lebih adil dan merata bagi seluruh peserta BPJS Kesehatan. Tentu hal ini menjadi pertanyaan untuk warga Indonesia terutama anak-anak muda yang memiliki rasa penasaran tinggi dan pro kontra atas Keputusan yang dibuat oleh Presiden Jokowi.
Dalam kegiatan ini berbagai pertanyaan ditujukan kepada dua narasumber yang hadir, yakni Nurul Izmi dan Febrian Rizky Arilya. Dalam diskusinya, Nurul Izmi menjawab salah satu pertanyaan mengenai proses pengambilan keputusan terkait penghapusan BPJS Kesehatan dan faktor utama yang dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan.
“Nah dalam kebijakan ini, aku memandang dari yang pertama terkait dengan latar belakangnya, maksudnya peraturan ini berbentuk peraturan presiden kita lihat kedudukan perpres dan kenapa kebijakannya itu dikeluarkan dalam bentuk perpres, kenapa gak bentuk dalam kebijakan lainnya. Dari Indonesianya sendiri itu ada hirarki peraturan perundang-undangan dimana secara sistematis seperti rangking, jadi yang paling atas dan yang dibawah harus sesuai dengan yang diatas begitu pula dengan penerapannya. Jadi peraturan presiden ini merupakan amanat untuk menyelenggarakan peraturan lebih lanjut dari perintah undang-undang ataupun peraturan pemerintah. Kemudian, jaminan Kesehatan ini dikeluarkan dalam bentuk perpres ternyata dia amanat dari undang-undang jaminan kesehatan. Lalu, perpres sudah mengalami tiga kali perubahan sebelumnya itu ditahun 2018, 2019, 2020 dan ini adalah perubahan ketiganya dari perpres tentang jaminan Kesehatan itu. Tentunya dalam setiap perubahan itu ada sesuatu yang signifikan. Perpres ini bukan perpres baru melainkan perpres yang diperbarui (direvisi). Lalu Ketika kita membicarakan tentang urgensinya, yang dilihat itu adalah faktor sosiologi. Kita melihat alasannya dibuat, fakta yang ada dilapangan, apakah kemudian tepat kebijakannya. Dengar-dengar ada perdebatan juga antara pembentuk peraturannya dengan presidennya, presidennya bilang ada pergantian tarif tapi dari kementerian Kesehatan tidak ada pergantian tarif. Nah sistemnya ini kemudian menjadi gap, didalam peraturan presidennya ini tidak dijelaskan bagaimana sistemnya. Jadi pereturan presiden ini hanya menegaskan penambahan sistemastis kelas rawat inap standar. Kemudian seperti apa implementasinya, apakah akan berpengaruh terhadap tarif itukan belum jelas. Karena didalam peraturan ini juga mendelegasikan peraturan lanjutannya akan dikeluarkan oleh peraturan Menteri, yang dimana yang berwenang adalah Menteri Kesehatan. Masih menjadi perdebatan juga ya, banyak pemangku kepentingan bukan hanya masyarakat saja, sekarang juga masih belum mendapatkan gambaran seperti apa, karena tentunya ada standar yang akan disesuaikan terhadap kamar rawat inap standar. Harus ada sesuatu yang berubah tapikan kita tidak tau ya, Ketika ada standar yang harus diikuti maka akan memakan biaya. Sebenarnya terkait latar belakang yang dipertimbangkan, pemerintah dalam penyelenggaraan Kesehatan prinsipnya satu memang jaminan Kesehatan itu adalah pelindungnya, bentuknya diberikan seperti bpjs. Ini yang menjadi suatu perbincangan juga ya, bagaimana pemerintah selama ini mengevaluasi kebijakan bpjs. Maunya ketika ada peraturan baru itu adalah hasil evaluasi sebelumnya, ada sesuatu yang pemerintah menilai selama ini bagaimana penyelenggara bpjs apa yang harus diubah. Nah itu yang menjadi point utama peraturan itu harus diubah atau peraturan itu harus ada, dan balik lagi kita berpikir apakah urgensinya, misalnya ketika rawat inap standar diberikan setiap rumah sakit itu bagus dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat, karena masyarakat pernah tidak dilibatkan dalam pembicaraan ini atau pernah tidak rumah sakit dilibatkan dalam pembicaraan sistematikanya.” Jelasnya.
Disambung oleh Aditya Nafidz Farhan selaku panelis yang menjelaskan tentang KRIS (kelas rawat inap standar) dan sepakat bahwa dengan adanya KRIS ini lebih baik dibanding dengan sistem kelas 1, 2, dan 3 pada BPJS Kesehatan. Karena dirinya merasa bahwa keadilan akan tercipta dengan meleburnya tingkatan kelas dalam BPJS Kesehatan ini.
Diskusi mengenai peleburan kelas dalam BPJS ini berlangsung cukup menarik, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menjadi pembuka topik yang menarik untuk didiskusikan, para panelis turut serta memberikan pendapatnya dan penjelasan dari sudut pandangnya. Hal ini tentu menjadi ilmu baru yang didapatkan untuk para peserta, karena dapat mempertimbangkan baik buruknya keputusan yang dibuat oleh Pak Jokowi disertai dengan berbagai macam latar belakang. Dalam diskusinya, salah satu panelis juga menyinggung soal perbedaan yang signifikan dari Rumah Sakit Swasta dan Rumah Sakit Pemerintah, sehingga membuat diskusi menjadi semakin menarik.
Banyak wawasan yang dapat diambil dari webinar ini, disamping bertemu dengan para bintang tamu hebat, para peserta juga merasakan adanya perbedaan-perbedaan secara nyata yang ditimbulkan dari sistem kelas di BPJS Kesehatan. Kemudian, acara dilanjutkan dengan sesi ice breaking dan ditutup oleh MC.