Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh tren foto bergaya Ghibli yang dihasilkan melalui teknologi AI. Dalam tren ini, foto biasa dapat diubah menjadi gambar dengan suasana khas film-film karya Hayao Miyazaki, seperti My Neighbor Totoro atau Spirited Away. Cukup dengan bermodalkan ChatGPT atau platform berbasis AI lainnya, gambar ala Jepang dengan nuansa nostalgik tersebut bisa tercipta dengan mudah.
Namun, tren ini memicu pro dan kontra. Banyak warganet menilai bahwa penggunaan AI untuk menciptakan gambar bergaya Ghibli merupakan bentuk pelanggaran hak cipta, karena dianggap meniru gaya visual milik Studio Ghibli tanpa izin.
Di Amerika Serikat, lebih dari 400 artis ternama Hollywood, termasuk Ben Stiller dan Paul McCartney, diketahui telah melaporkan perusahaan teknologi seperti OpenAI dan Google atas dugaan penggunaan karya para seniman tanpa izin dalam pelatihan AI.
Seorang pengguna Instagram menyampaikan kritik keras terhadap tren ini melalui unggahannya:
“Penggunaan AI dalam mengubah foto ke nuansa Ghibli adalah pencurian terhadap kreativitas jika tidak meminta izin dahulu kepada pencetusnya apalagi hal ini disebarluaskan dalam jangkauan yang sangat luas.”
Beberapa pengguna media sosial juga menolak menggunakan fitur AI yang meniru gaya Ghibli karena dianggap tidak menghargai hak cipta.
Sementara itu, menurut hukum hak cipta di Jepang, penggunaan karya berhak cipta untuk pelatihan AI diperbolehkan demi pengembangan teknologi. Namun, regulasi tersebut belum secara jelas mengatur batasan antara kepentingan pribadi dan komersial. Hingga kini, pihak pengembang AI belum memberikan tanggapan signifikan terhadap kontroversi ini.
Di sisi lain, ada pula pendapat yang menyambut positif tren ini. Beberapa pengguna menganggap fitur AI tersebut menarik karena mampu menghadirkan suasana damai dan penuh nostalgia masa kecil.
”Gambar yang dihasilkan dengan teknologi AI ini terkesan canggih dan penuh nostalgia, seakan ini adalah adegan kenangan lama,” ujar seorang pengguna platform X.
Meningkatnya popularitas tren ini kembali menyoroti pandangan Hayao Miyazaki terhadap AI. Sejak tahun 2016, Miyazaki sudah mengkritisi peran AI dalam seni. Dalam sebuah pameran karya AI, ia melihat animasi yang menampilkan potongan tubuh menggeliat sambil menyeret kepalanya. Alih-alih terkesan, Miyazaki mengaku sangat jijik melihatnya.
“Setiap pagi, dalam beberapa hari terakhir, saya melihat teman saya yang memiliki disabilitas. Sangat sulit baginya untuk sekadar melakukan tos, lengannya yang berotot kaku tidak dapat menjangkau tangan saya. Sekarang, ketika memikirkannya, saya tidak bisa menonton hal-hal ini dan menganggapnya menarik. Siapapun yang menciptakan hal-hal ini tidak tahu apa itu rasa sakit,” katanya kepada AP News.
“Saya tidak akan pernah ingin memasukkan teknologi ini (AI) ke dalam karya saya. Sama sekali tidak. Saya benar-benar merasa bahwa ini merupakan penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri,” tegasnya.
Meski demikian, hingga kini Studio Ghibli belum mengajukan gugatan hukum terhadap tren AI bergaya Ghibli ini. Di tengah polemik, sempat beredar surat pernyataan di media sosial yang mengklaim bahwa Studio Ghibli telah menggugat kasus tersebut. Namun, laporan dari media IT Jepang mengungkap bahwa surat itu palsu. Pihak Studio Ghibli telah mengonfirmasi bahwa mereka tidak pernah menerbitkan pernyataan resmi terkait masalah ini.
Teknologi AI memang sangat canggih dan mampu membantu pengguna mengekspresikan imajinasi visual dengan cara yang memukau. Namun, di sisi lain, AI juga menimbulkan kekhawatiran karena dapat menyaingi karya berbasis kekayaan intelektual. Bahkan, para pencipta karya kini tidak hanya bersaing dengan sesama seniman, tetapi juga dengan versi modifikasi dari karya mereka sendiri yang dihasilkan oleh AI.
Dengan gambaran kasus ini, pertanyaan besarnya pun muncul:
Apakah AI akan menjadi sahabat manusia yang mendukung kreativitas, atau justru menggeser peran dan pekerjaan mereka di masa depan? (IWM)
Referensi: