Medan | Neraca – Dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh setiap 3 Mei, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menyelenggarakan diskusi publik bertema “AI dan Etika Jurnalisme di Medan: Menjembatani atau Menggerus Etika Pers?“. Acara ini berlangsung pada Sabtu pagi dengan dihadiri oleh jurnalis, akademisi, perwakilan pers mahasiswa dari berbagai kampus, dan perwakilan media jurnalis seperti Tribun Medan, Realitas, dan media-media lainnya.
Diskusi menghadirkan dua narasumber kompeten, yakni Nurhalim Tanjung, seorang ahli pers dan pengajar jurnalistik, serta Yulhasni, dosen Ilmu Komunikasi UMSU. Keduanya mengupas berbagai sisi penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia media dan jurnalisme, baik dari sisi teknis, etika, hingga aspek regulasi.
Diskusi ini menyoroti pertumbuhan pesat teknologi seperti ChatGPT yang kini mulai digunakan untuk mempercepat produksi konten berita. Dan salah satu poin utamanya adalah bagaimana AI perlahan mulai menggantikan peran wartawan melalui personalisasi konten, meskipun tetap belum bisa menggantikan intuisi, empati, dan tanggung jawab moral seorang jurnalis yang tetap berpegang teguh dengan kode etis jurnalis.
Narasumber juga menyinggung ironi dalam praktik jurnalistik saat ini, di mana pelanggaran regulasi justru dilakukan oleh media yang telah terverifikasi, bahkan oleh institusi seperti kepolisian dan kejaksaan, dalam menyampaikan informasi yang belum terkonfirmasi. Dalam konteks ini, peran jurnalis menjadi sangat krusial sebagai penyeimbang dan pelurus informasi yang mungkin menjadi bias karena viralitas di media sosial.
Ketua AJI juga menekankan bahwa meskipun Dewan Pers menyatakan AI dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas berita, penggunaannya tetap harus tunduk pada kode etik jurnalistik dan tidak lepas dari kontrol manusia. Merujuk pada Paris Chapter mengenai AI dan jurnalisme, semua hasil produksi AI dianggap sebagai “barang mentah”, dan apabila merugikan publik, perusahaan media wajib menonaktifkan teknologi AI tersebut.
Saat ini, belum ada regulasi khusus di Indonesia yang secara langsung mengatur penggunaan AI dalam media. UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 pun belum menjangkau isu tersebut. Oleh karena itu, AJI dan berbagai pihak mendorong penyusunan regulasi baru agar penggunaan AI tidak melanggar prinsip-prinsip jurnalistik.
Melalui sesi tanya jawab, peserta aktif menyampaikan pandangannya, termasuk soal peran AI dalam mempercepat pembuatan berita namun seringkali mengabaikan aspek kode etik. Salah satu pertanyaan menarik muncul dari peserta yang bertanya, “Apakah dengan adanya AI, semua orang kini bisa menjadi jurnalis?”. Narasumber menegaskan bahwa jurnalisme bukan sekadar kemampuan menulis, melainkan proses verifikasi, pemahaman konteks, dan tanggung jawab etik.
Diskusi ini juga menyoroti pentingnya edukasi literasi media, terutama bagi mahasiswa dan jurnalis pemula, agar dapat memanfaatkan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti prinsip-prinsip jurnalistik.
Dalam wawancaranya, Ketua AJI menjelaskan bahwa acara ini merupakan bagian dari arahan nasional AJI untuk merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia dengan tema yang relevan di tengah tantangan zaman. Dan juga dalam wawancara tersebut dia juga menyampaikan harapannya kepada pers mahasiswa yang baru menekuni bidang jurnalistik. “Jadi tetap kita pakai AI, tetapi tidak AI yang menjadi sumber informasi yang paling saklak, tetap juga manusia yang mengontrolnya. Jadi, itu yang perlu dipahami, dan itu nanti akan mungkin berguna, apalagi nanti adik-adik pers mahasiswa yang mungkin nanti ke depannya akan menjadi penerus,” tegasnya.
AJI sendiri tidak berperan sebagai regulator, tetapi aktif melakukan edukasi dan kampanye kepada komunitas jurnalis untuk tetap menjunjung tinggi profesionalisme. Harapannya, diskusi ini dapat menjadi fondasi awal bagi para jurnalis muda agar tidak buta terhadap perkembangan teknologi dan tetap kritis dalam penggunaannya. Sebagai tindak lanjut, hasil diskusi dari 40 kota tempat AJI mengadakan kegiatan serupa akan dijadikan bahan kajian untuk menyusun rekomendasi kepada Dewan Pers, termasuk kemungkinan penyusunan kode etik tambahan dan regulasi terkait pemanfaatan AI dalam jurnalistik.
Untuk informasi lebih lanjut, peserta dan publik bisa merujuk pada dokumen resmi AJI berikut:
- Asesmen Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Media di Indonesia (6 Jan 2025)
- Briefing Paper: AI dan Organisasi Berita di Indonesia (16 Des 2024)
- Kecerdasan Artifisial dalam Arus Informasi dan Media (Maret 2025)
Dengan adanya diskusi ini, AJI berharap tercipta jurnalisme yang tetap humanis, etis, dan relevan dalam menghadapi arus perkembangan teknologi. (THA)