foto: www.google.com
Zulfikar Aldy |
Berbicara tentang pendidikan di Indonesia memang tak pernah ada habisnya. Sebab memang sistem pendidikan di Indonesia saat ini belum dapat dikatakan baik. Bak pepatah, jauh panggang dari api. Tercatat dalam tinta tebal perjalanan sejarah manusia di dunia, bahwa pendidikan adalah senjata perubahan sosial. Sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara maju apabila pendidikan di negara tersebut juga maju. Kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri saat ini adalah pendidikan di negara ini cenderung stagnan.
Dahulu, cara yang dipakai dalam mendidik siswa dapat dikategorikan cara yang jahat. Jahatnya pendidikan di Indonesia adalah ketika setiap anak tidak bisa yakin kalau dirinya berbeda dengan orang lain. Hal ini dapat dilihat dengan standarisasi dalam bidang pendidikan. Ujian Nasional, misalnya. Atau mungkin dengan sistem belajar dimana siswa dicekoki dengan cara belajar hapal mati. Padahal tidak semua siswa memiliki kemampuan menghapal yang baik. Seorang ilmuwan pernah berkata, setiap anak itu terlahir jenius. Tapi jika kita menilai seekor ikan dari bagaimana cara ia memanjat pohon, maka ikan tersebut akan merasa bodoh seumur hidupnya.
Di era digital yang saat ini sedang kita jalani tentu tantangan dalam memajukan pendidikan di negeri ini semakin tidak mudah. Tentunya cara-cara yang sudah tergolong usang tersebut harus kita ubah. Tantangan terberat ada pada para pendidik bagaimana ia dapat membuat muridnya menjadi minat dalam belajar bukan malah memaksanya untuk belajar dengan cara menghapal. Pun begitu, semua elemen sudah seharusnya bahu-membahu untuk memajukan pendidikan ke arah yang lebih baik lagi. Termasuk peran orang tua yang sangat vital dalam menentukan berhasil tidaknya mendidik siswa-siswa yang saat ini di dominasi oleh generasi millenial.
Secara sederhana karakter generasi millennial dapat digambarkan sebagai generasi yang ditandai dengan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, generasi ini terkesan lebih individual, cukup mengabaikan masalah politik, fokus pada nilai nilai materialistis dan kurang peduli untuk membantu sesama. Pribadi yang individualis tidaklah selamanya bermakna buruk. Acap kali dari pribadi individualis lahir gagasan-gagasan besar. Tokoh pendidikan Nasional KI Hajar Dewantara mengajarkan tiga prinsip dalam pendidikan, yakni, Ing Ngarsa Sung Tulodo, didepan memberi keteladanan. Ing Madyo Mangun Karso, ditengah memberi inspirasi. Tut Wuri Handayani, di belakang memberi tuntunan. Jika dahulu guru atau para pendidik merupakan salah satu elemen yang dominan dalam memperoleh pengetahuan, kini hendaknya guru atau para pendidik memposisikan diri pada posisi di belakang memberi tuntunan. Semoga pendidikan di negeri ini semakin lebih baik lagi. Selamat Hari Pendidikan, sobat!