Medan | Neraca – Omnibus Law adalah suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana.
Hal ini sedang marak diperbincangkan di Indonesia. Pasalnya, Omnibus Law sendiri mengundang banyak pihak pro maupun kontra terhadap aturan-aturan yang dikandungnya. Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni UU Perpajakan, Cipta Lapangan Kerja, dan Pemberdayaan UMKM.
Menurut Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Rizky Argama, bukan hanya Indonesia yang akan menerapkan Omnibus Law, melainkan sudah ada sejumlah negara yang menerapkannya sebagai strategi untuk menyelesaikan persoalan regulasi yang berbelit dan tumpang tindih.
Hingga saat ini, pemerintah telah menyisir 81 Undang-undang yang akan terkena dampak Omnibus Law. Karena menurut Presiden Joko Widodo, jika hal ini disisir satu-persatu, akan memakan waktu kurang lebih 50 tahun.
“Nah ini mohon didukung, jangan dilama-lamain, jangan disulit-sulitin. Karena, ini sekali lagi untuk cipta lapangan kerja,” kata Presiden, seperti dilansir dari laman Setkab.go.id, Senin (9/12/2019).
Perihal UU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) yang paling banyak menuai kontroversi. Bukan hanya bagi buruh, namun juga mahasiswa yang mendukung maupun menentang adanya Omnibus Law ini.
Dikutip dari pendapat mahasiswa di Kota Medan, terdapat baik pihak pro dan kontra yang kemudian menyampaikan pendapat mereka menanggapi UU Cilaka tersebut.
“Ya kalau menurut saya, emang ada pro dan kontranya sih. Tapi saya lebih merujuk ke nilai positif dari Omnibus Law itu sendiri. Kenapa? Kan Omnibus Law ditujukan untuk menyederhanakan regulasi perundang-undangan kita yang selama ini dianggap berbelit-belit menjadi lebih kompleks dan sederhana.
Selain itu, dalam ekonomi sendiri, Omnibus Law dapat memperkuat sistem investasi kita dan daya saing ekonomi kita terhadap global. Ya dampaknya kemungkinan besar akan menguatnya nilai tukar rupiah kita. Ya tapi semua memang harus penuh pertimbangan juga. Di samping itu juga toh para buruh gak setuju, karena menghapus sistem upah minimum kan? Tapi menurut saya, toh lebih baik kita berpikir manfaat Omnibus Law itu secara lebih luas. Itu sih menurut saya. Sekali lagi pro-kontra pasti ada, tergantung bagaimana kita menanggapinya,” ujar Boy Fransiskus, mahasiswa MRKG Politeknik Negeri Medan.
Setiap ada pro, ada pula kontra yang dilontarkan mahasiswa.
“Jadi kan kalau menurut saya, Omnibus Law itu buat rakyat makin susah, buat negara makin tergadaikan (di bidang lapangan kerja).
Omnibus Law kan peraturan sapu jagad, dalam artian semua persoalan mau dijadikan satu payung hukum atau satu tujuan gitu.
Nah di Omnibus Law itu pemerintah mempermudah kepemilikan hak asing atas tanah atau SDA yg ada di negara. Dari situ kan kita liat Pasal 33 Ayat 3 isinya tanah, air, bumi itu milik negara yg harusnya digunakan sama rakyat secara gratis tapi sekarang aja kita air bayar ke PDAM. Yang kelola siapa? Ya pihak swasta/asing.
Jadi Omnibus Law itu menguntungkan pihak yg udah kaya. Segala persyaratan dimudahkan biar negara asing banyak yang mau investasi.
Terus kan di Omnibus Law, pemerintah gak lagi netapin UMP secara nasional tapi udah ke Pemda. Kalau pandangan saya, pemerintah pusat angkat tangan dari tanggung jawab mereka untuk mastiin ekonomi seluruh negeri terkendali. UMP tergantung sama keadaaan ekonomi tiap daerah, ya aneh aja gitu jadi pemerintah pusat tugasnya apa? Kan mereka yang punya tanggung jawab paling besar dalam menyejahterakan rakyat. Lah kalau UMP aja gak bisa dibuat merata secara nasional, kenapa gak pisah aja ini negara? Biar tiap provinsi jadi negara aja,” jelas Hafni Rambe, mahasiswi Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Terlepas dari pro-kontra yang terjadi di berbagai kalangan, pemerintah berjanji akan secara terbuka menjelaskan Omnibus Law kepada semua pihak untuk mencegah polemik di masyarakat. (AFS)