Pada 27 Maret 2025, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mengumumkan bahwa Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) akan dibahas di Komisi III bersama pemerintah. Ia telah berkoordinasi dengan Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengenai agenda pembahasan tersebut. Menurut rencana, pembahasan resmi akan dimulai pada awal masa sidang berikutnya, setelah masa reses DPR yang berlangsung dari 26 Maret hingga 16 April 2025. Pemerintah menargetkan penyelesaian pembaruan RUU KUHAP pada akhir tahun 2025. Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa revisi ini bertujuan untuk memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia dengan mengakomodasi prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia (HAM) yang lebih kuat.
Pada 20 Maret 2025, Komisi III DPR RI menggelar konferensi pers dan mengumumkan bahwa draf serta naskah akademik RUU KUHAP telah dipublikasikan di situs resmi DPR. Meskipun pemerintah optimistis dengan revisi KUHAP, beberapa pihak justru menilai bahwa draf RUU yang beredar sejak 17 Februari 2025 mengalami kemunduran serta memiliki sejumlah kelemahan yang dapat mengancam hak asasi manusia serta prinsip keadilan. Berikut lima poin utama yang menjadi sorotan:
- Jaminan Perekaman CCTV dalam Pemeriksaan dan Penahanan
Pasal 31 ayat (2) RUU KUHAP menyebutkan bahwa pemeriksaan tersangka direkam melalui CCTV, tetapi sifatnya tidak wajib. Hal ini menimbulkan celah bagi pelanggaran hak tersangka. Selain itu, tidak ada kewajiban pemasangan CCTV di tempat penahanan, serta rekaman CCTV dikuasai oleh penyidik tanpa mekanisme checks and balances yang jelas. Koalisi menilai bahwa rekaman ini seharusnya dikelola oleh lembaga independen agar dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan.
- Perlindungan Hak Kelompok Rentan
Hak-hak kelompok rentan dalam Pasal 137-139 tidak memiliki mekanisme operasional yang jelas. Ketentuan ini hanya mencantumkan hak tanpa menjelaskan cara pemenuhan dan penegakannya. Selain itu, tidak ada pihak yang secara tegas bertanggung jawab atas pemenuhan hak tersebut, sehingga berisiko menjadi regulasi yang hanya bersifat simbolis.
- Peran Advokat yang Lemah
RUU KUHAP masih membatasi peran advokat dalam pembelaan hukum. Pasal 33 menyebutkan bahwa advokat hanya dapat melihat dan mendengar dalam pemeriksaan, tanpa bisa berpartisipasi aktif. Selain itu, Pasal 197 ayat (10) memungkinkan penuntut umum memanggil saksi tambahan, sementara advokat tidak memiliki kesempatan yang sama. Pembatasan lainnya terdapat dalam Pasal 142 ayat (3) yang melarang advokat memberikan pendapat di luar pengadilan terkait kliennya, yang bertentangan dengan kebebasan advokat dalam menjalankan profesinya.
- Syarat Penahanan yang Karet
Pasal 93 ayat (5) memperluas alasan penahanan dari tiga menjadi sembilan, dengan beberapa alasan yang subjektif seperti “menghambat proses pemeriksaan” atau “tidak bekerja sama dalam pemeriksaan.” Hal ini berisiko disalahgunakan oleh penyidik dan bertentangan dengan prinsip hukum yang memberikan hak ingkar bagi tersangka atau terdakwa. Selain itu, tidak ada standar objektif dalam penentuan penahanan, yang dapat membuka peluang penyalahgunaan wewenang.
- Kesalahan dalam Konsep Restorative Justice
RUU KUHAP masih salah memahami konsep restorative justice (RJ) dengan menyamakannya dengan diversi. RJ bertujuan memulihkan korban, tetapi dalam RUU ini justru dijadikan mekanisme penghentian perkara tanpa pengawasan yang jelas. Penangguhan tuntutan diberikan kepada penyidik, bukan penuntut umum, yang dapat membuka celah penyalahgunaan wewenang dan intimidasi terhadap korban untuk menerima penyelesaian di luar pengadilan.
Berdasarkan catatan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mendesak agar revisi RUU KUHAP dilakukan dengan memperkuat prinsip due process of law serta hak asasi manusia. Tanpa perbaikan substansial, regulasi ini dinilai lebih banyak menimbulkan masalah daripada memberikan solusi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Beberapa organisasi HAM serta para pakar hukum juga mengkritik kemungkinan adanya perluasan kewenangan aparat penegak hukum yang bisa berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan. Mereka menyoroti perlunya aturan yang lebih ketat dalam mengatur kewenangan penyidik dan jaksa agar tidak terjadi penyimpangan dalam praktik hukum. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tetap mengawal pembahasan RUU ini agar perubahannya tidak merugikan hak-hak individu. (ALG)
Refrensi:
https://www.tempo.co/politik/ruu-kuhap-baru-ditargetkan-rampung-pada-akhir-tahun-2025-1224750
https://icjr.or.id/cek-kosong-pembaharuan-kuhap/
https://www.tempo.co/hukum/ruu-kuhap-dibahas-setelah-lebaran-koalisi-masyarakat-sipil-untuk-pembaruan-kuhap-soroti-sejumlah-pasal-1225949