Medan | Neraca – Peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Perpol) No. 3 Tahun 2025 telah menimbulkan perdebatan di kalangan aktivis dan para pegiat kebebasan pers. Dengan adanya peraturan ini, jurnalis asing yang ingin meliput berita di Indonesia wajiib mendapatkan Surat Keterangan Kepolisian (SKK). Beberapa pihak menilai bahwa peraturan ini dapat membatasi kebebasan pers dan keterbukaan informasi.
Perpol No. 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian terhadap Orang Asing, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, disebutkan bahwa orang asing yang ingin melakukan kegiatan jurnalistik atau investigasi di wilayah Indonesia harus melampirkan dokumen tertentu, termasuk Surat Keterangan Kepolisian.
Dokumen ini disinggung sebagai bagian dari persyaratan administratif terhadap pengawasan kegiatan orang asing di Indonesia, khususnya dalam konteks keamanan nasional. Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 2025. Sebagai reaksi atas kritik yang bermunculan di masyarakat, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menekankan bahwa SKK tidak diwajibkan untuk semua jurnalis asing. Dia mengklarifikasi bahwa dokumen tersebut diperlukan jika penjamin dari jurnalis yang bersangkutan meminta.
“Tidak benar jika ada anggapan bahwa seluruh jurnalis asing yang datang ke Indonesia harus membuat Surat Keterangan Kepolisian. Itu hanya diminta apabila dibutuhkan oleh penjaminnya,” jelas Kapolri, dikutip dari Kompas.com.
Kritik datang dari berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Organisasi ini menyatakan bahwa Perpol 3/2025 dianggap berpotensi melanggar UU No. 40/1999 tentang Pers.
“Peraturan tersebut menerabas UU Pers dan berpotensi mengkriminalisasi kegiatan jurnalistik jurnalis asing,” ujar Ketua YLBHI Muhammad Isnur, dikutip dari Tempo.co.
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) juga menentang hal ini. Mereka menyimpulkan bahwa pengawasan ini dapat digunakan sebagai alat pemantauan dan represi terhadap jurnalis asing yang bekerja di Indonesia.
“Perpol ini mengancam kebebasan pers dan membuka ruang bagi kriminalisasi terhadap jurnalis asing,” terang KKJ dalam pernyataan tertulis yang dilansir oleh Amnesty Indonesia.
Perpol Nomor 3 Tahun 2025 dinilai bertentangan dengan beberapa Undang-Undang yang terdapat di Indonesia. Beberapa di antaranya ialah:
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 4 ayat (2) yang menjamin kemerdekaan pers.
- Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F, yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi.
Pembahasan yang mencakup Perpol Nomor 3 Tahun 2025 menunjukkan betapa pentingnya penyusunan regulasi yang transparan, partisipatif, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kritikan dari berbagai lembaga menggarisbawahi perlunya aturan yang menyangkut kebebasan pers untuk ditinjau kembali agar tidak menimbulkan pembatasan informasi dan pengawasan berlebihan terhadap jurnalis asing. (EBN)