Dunia maya dihebohkan oleh kemunculan grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah” yang memuat konten mengenai perkawinan sedarah dan pedofil. Grup ini menjadi sorotan publik setelah tangkapan layar percakapan para anggotanya viral di media sosial dan memicu kecaman dari berbagai pihak.
Grup “Fantasi Perkawinan Sedarah” diketahui telah memiliki ribuan anggota yang secara terang-terangan membagikan fantasi seksual terhadap anggota keluarga kandung, termasuk anak di bawah umur. Konten tersebut tidak hanya melanggar norma sosial dan agama, tetapi juga berpotensi melanggar hukum di Indonesia.
Adanya grup ini mulai diketahui pada pertengahan Mei 2025 dan tak lama kemudian menyebar di platform seperti X dan Instagram. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bersama Meta, telah memblokir lebih dari 30 akun yang terkait dengan grup tersebut. Namun, admin dan anggota aktif grup tersebut masih dalam pengejaran pihak berwajib.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan isi grup tersebut melanggar hak-hak anak dan kesusilaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). KPAI meminta pihak kepolisian untuk segera menangkap para pelakunya dan melacak korban anak yang terlibat.
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, menekankan bahwa pemutusan akses grup adalah bagian dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak. Regulasi ini mewajibkan setiap platform digital untuk melindungi anak-anak dari konten yang merusak dan menjamin bahwa anak-anak dapat tumbuh dalam lingkungan digital yang aman dan sehat.
Wihaji selaku Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, menyoroti pentingnya edukasi untuk menghindari perilaku yang menyimpang di era digital. Ia menjelaskan bahwa gadget seperti handphone telah menjadi bagian dari keluarga dan penggunaannya harus diperhatikan untuk menghindari penyebaran konten negatif.
Seorang pakar anak dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Holy Ichda Wahyuni, menunjukkan bahwa fenomena ini merupakan krisis bagi keamanan anak di era yang semakin maju. Dia menekankan perlunya pengajaran seks sejak dini dan peran serta aktif orang tua dalam memeriksa aktivitas daring anak-anak mereka.
Kasus “Fantasi Sedarah” dapat menjadi pengingat bahwa ruang digital bukanlah tempat yang sepenuhnya aman, terutama untuk anak-anak. Kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan online yang sehat dan bebas dari konten yang merusak.
Sebagai generasi muda, kita memiliki peran penting dalam mengajarkan dan mengamati penggunaan media sosial di sekitar kita. Mari ciptakan ruang digital yang aman dan positif untuk semua orang. (EBN)
https://news.detik.com/berita/d-7920369/grup-fantasi-sedarah-yang-bikin-resah
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c9vgepgk2nvo