Ketegangan bersenjata antara Iran dan Israel sejak 13 Juni 2025 makin memburuk usai Amerika Serikat melancarkan serangan udara ke Teheran. Aksi militer ini memicu kekhawatiran global terhadap stabilitas ekonomi dan keamanan internasional, termasuk potensi dampaknya bagi perekonomian Indonesia.
Presiden AS Donald Trump mengonfirmasi bahwa militer AS telah menggempur fasilitas nuklir Iran pada Sabtu (21/6) malam waktu setempat, yang berlanjut pada Minggu (22/6) waktu Teheran. Tindakan ini memperparah eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa konflik ini tidak hanya mengganggu sektor energi, tetapi juga dapat menekan prospek pertumbuhan ekonomi global. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menekankan bahwa lonjakan harga energi bisa mendorong revisi turun terhadap pertumbuhan dunia.
Harga minyak Brent sempat melonjak 5,7% menjadi US$ 81,40 per barel sebelum kembali terkoreksi. Ketidakpastian global juga menyebabkan fluktuasi harga emas dan minyak mentah. Investor mulai menjauhi aset-aset berisiko, memicu tekanan terhadap nilai tukar mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Ekonom memperingatkan bahwa jika Iran menutup Selat Hormuz jalur vital ekspor minyak dunia maka krisis energi bisa terjadi. Menurut data EIA 2024, 20 juta barel minyak per hari, atau 20% konsumsi global, melewati selat tersebut. Gangguan ini akan berdampak langsung ke Indonesia sebagai negara pengimpor minyak.
Sebagian besar kilang Pertamina bergantung pada pasokan minyak mentah dari wilayah Teluk. Jika pasokan terganggu, Indonesia akan menghadapi lonjakan biaya energi dan inflasi. Analis Ronny P Sasmita menyebut skenario ini sangat merugikan Indonesia karena bisa memicu kenaikan harga minyak hingga 30%.
Ketidakpastian global mendorong penguatan dolar AS, sementara rupiah tertekan. Bank Indonesia diperkirakan akan menaikkan suku bunga untuk menjaga stabilitas rupiah dan menarik investor tetap bertahan. Jika rupiah melemah hingga menyentuh Rp17.000 per dolar AS, dampaknya terhadap perekonomian bisa sangat buruk.
Cadangan devisa Indonesia terus tertekan sejak awal 2024. Pada Maret, turun sebesar US$ 3,6 miliar menjadi US$ 140,4 miliar akibat intervensi BI untuk menjaga rupiah. Permintaan valas domestik juga meningkat karena konsumsi dan pinjaman korporasi.
Gangguan rantai pasok global akibat konflik bisa menghambat ketersediaan bahan baku penting seperti bijih besi, yang banyak diimpor dari Brasil dan Australia. Jika distribusi terganggu, harga bahan baku akan naik dan menghambat produksi dalam negeri, termasuk industri baja.
Kenaikan harga energi dan bahan baku akan meningkatkan inflasi dan menekan daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga, sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional, juga berpotensi melemah.
Konflik bersenjata di Timur Tengah kini menjadi ancaman nyata bagi stabilitas ekonomi global. Indonesia, sebagai bagian dari ekonomi dunia, harus bersiap menghadapi berbagai tekanan dengan kebijakan fiskal dan moneter yang adaptif. Diversifikasi energi, penguatan industri dalam negeri, dan strategi stabilisasi nilai tukar menjadi kunci dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global. (ATS/VW)
Referensi
https://www.kompas.id/artikel/menakar-kekuatan-ekonomi-iran-dan-israel-siapa-lebih-unggul
https://setkab.go.id/menghadapi-dampak-konflik-iran-israel-strategi-dan-implikasi-bagi-indonesia/