Oleh: Euodia Evelyn
Medan | Neraca –Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sedang mengerjakan sebuah proyek untuk menyusun ulang sejarah Indonesia, yang akan selesai pada tanggal 17 Agustus 2025. Proyek ini, yang digerakkan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan melibatkan 113 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi, bertujuan untuk memberikan sepuluh jilid buku pelajaran sejarah yang akan diinstruksikan di sekolah-sekolah. Namun, kegiatan ini telah dikritik keras oleh berbagai kalangan, karena dikhawatirkan akan mengarah pada penafsiran sejarah tunggal yang mengabaikan peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan bangsa.
- Kekhawatiran Terhadap Penghilangan Sejarah
Draf awal dari perubahan sejarah yang diedarkan pada Januari 2025 tidak menyertakan sejumlah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Hal ini mencakup Pemberontakan Madiun 1948 oleh PKI, peristiwa G30S 1965, pelanggaran hak asasi manusia yang nyata di tengah-tengah masa Orde Baru, dan penculikan para aktivis pro-reformasi pada tahun 1997-1998. Kekhawatiran muncul bahwa penghilangan ini ditujukan untuk menyingkirkan tokoh-tokoh tertentu dari sejarah, termasuk Presiden Prabowo Subianto, yang dikaitkan dengan penculikan aktivis.
- Kritik dari Kalangan Akademisi dan Aktivis
Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang beranggotakan para mahasiswa sejarah dan aktivis hak asasi manusia, melihat proyek ini sebagai upaya untuk mempolitisasi sejarah yang dapat merusak integritas akademik dan menggelapkan kebenaran. Mereka menekankan pentingnya sejarah yang inklusif danmencerminkan sudut pandang yang berbeda serta bukan hanya narasi yang menguntungkan pihak yang berkuasa.
Bonnie Triyana, anggota Komisi X DPR RI, memperingatkan bahwa buku-buku sejarah resmi yang dibuat oleh pemerintah dapat menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan jika tidak dibuat dengan cara yang transparan dan ilmiah. Dia menekankan perlunya keterlibatan publik dan uji publik dalam proses penulisan sejarah agar tidak terjadi monopoli narasi.
- Pemerintah Menanggapi Kritik
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah ini bukan merupakan proyek baru, namun merupakan kelanjutan dari misi Kementerian Kebudayaan yang sejak awal dibentuk. Ia menekankan bahwa buku-buku sejarah yang akan datang tidak akan menjadi sejarah resmi, tetapi sebuah referensi bersifat Indonesia-sentris. Fadli juga menjelaskan bahwa akan ada dialog terbuka dan uji publik untuk menjamin keterlibatan berbagai pihak dalam penyusunannya.
- Dampak Terhadap Generasi Muda
Penjelasan sejarah dengan tafsir tunggal di sekolah-sekolah dapat memberikan dampak yang nyata terhadap pemahaman generasi muda tentang masa lalu negara ini. Ketika representasi sejarah disusun secara selektif dan mengabaikan peristiwa-peristiwa penting, para siswa yang tidak mengerti akan kehilangan kesempatan untuk menghafal kesalahan-kesalahan di masa lalu dan memahami kompleksitas perjalanan bangsa. Hal ini dapat menghambat kemajuan perkembangan pemikiran kritis dan kesadaran sejarah yang sehat.
Penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah harus dilakukan dengan prinsip keterbukaan, inklusivitas, dan integritas akademik. Sejarah dapat menjadi milik bersama yang harus mencerminkan berbagai sudut pandang dan pengalaman. Upaya untuk menyusun narasi tunggal yang menguntungkan pihak tertentu hanya akan merusak pemahaman kolektif dan menghambat proses rekonsiliasi nasional. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk terlibat aktif dalam memastikan bahwa sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah mencerminkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sunber:
https://www.historia.id/article/penulisan-sejarah-indonesia-2025-bukan-sejarah-resmi-vy8jk